Sunday 1 April 2012



Oleh Muhammad Fajrin Mustafa
BAB I
PENDAHULUAN

Modernitas dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan ekses negativnya terlihat ketika ilmu  pengetahuan dan teknologi diper-tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak segera puas pada satu penemuan saja.  Pertumbuhan bangun ilmu pengetahuan dan ideology pun terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis - empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah manusia ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya masalah baru   yang lebih kompleks.
Ditengah kegamangan ilmu pengetahuan dan lahirnya kemanusiaan yang berpenyakit tersebut, peran agama kembali mendapat perhatian setelah teralienasi sejak pasca ranaisance. Demikian halnya dalam ilmu pengetahuan seperti ilmu psikologi terapi yang menekankan pada teori klinis/mekanis dan mengesampingkan peran keagamaan/spiritualitas dan kemudian terbukti mengalami ketimpangan.
Asumsi dari Modernitas Science seperti; Naturalism, Atheism, Determinism, Universalism, Reductionism/Atomism, Materialism, Ethical relativism, Ethical hedonism, Positivism, Classical/Naive realism, Empiricism dan Sigmund Freud  ahli psikoanalisa dimana kesemuanya memandang sebelah mata peran penting agama telah menemukan kegagalan argumentasi, pendapat dan teori-teorinya.
Kebangkitan Spiritual dalam ilmu pengetahuan adalah sekitar tahun 80-an tentang  pandangan dunia keagamaan. Hal tersebut, diakui sebagai aspek penting yang mempengaruhi perkembangan dan pemenuhan diri manusia seperti: (Theistic World Views) percaya bahwa eksistensi dari A Supreme Being dan Human Beings sebagai agen yang bertanggung jawab, bukan mesin.
Dalam menghadapi nestapa manusia era modern tingkat lanjut seperti sekarang ini, pemahaman keagamaan perlu ditransformasikan sehingga dapat memenuhi harapan esensial dari ajaran agama itu sendiri dalam menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan dan bukan menjadi sumber keruwetan. Ummat beragama juga perlu memahami bahwa fenomena-fenomena agama selain melibatkan wahyu, juga lengket dengan fenomena cultural, tradisi, adat istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya.
Sejalan dengan uraian diatas, praktek dari pengetahuan islam menyangkut kedua pendekatan (ilmu agama-Ilmu umum) pun merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Pertanyaan kemudian adalah Bagaimana integrasi ilmu dan aplikasinya menurut Al-Quran.


BAB II
INTISARI BUKU

Buku “Integrasi Ilmu dan Aplikasinya Menurut Al-Quran” oleh Drs. H. Syahminan Zaini ini terdiri dari tujuh bagian yakni tentang krisis dunia modern dan sebab-sebabnya, sejarah pemisahan ilmu agama, apa itu ilmu?, mengapa harus berilmu, untuk apa berilmu, bagaimana cara berilmu, dan ilmu yang dikehendaki islam.
Krisis dunia modern merupakan akibat dari kurangnya integrasi antara ilmu pengetahuan dan ajaran agama. Sebab dari krisis dunia modern menurut para tokoh ialah kesalahan konsepsi tentang kebenaran, sikap dunia modern yang hanya mengakui hal-hal yang nyata dan beberapa pendapat lainnya.
Pemisahan antara ilmu dan agama diawali ketika orang-orang barat menganggap agama tidak perlu bagi manusiadan anggapan orang-oran timur (islam) bahwa ilmu filsafat, ilmu kimia, ilmu falaq adalah ilmu-ilmu kafir.
Ilmu menurut islam ialah pengenalan terhadap segala yang ada (Allah, manusia, dan alam) dengan Ilmu Allah, yang ada pada diri-Nya kemudian diberikan-Nya kepada manusia yang ada dalam alam dan yang ada dlam agama-Nya, lewat panca indera, akal, dan kalbu manusia.
Alasan tentang mengapa harus berilmu merupakan pondasi awal kita dalam mencari ilmu, alasan dasar ini akan mejadi kekuatan yang dapat mengikat konsekwensi proses dan kosekwensi kebenaran akan ilmu.
Untuk apa berilmu, merupakan pertanyaan yang menanyakan manfaat ilmu bagi manusia. Ilmu bagi manusia beriman adalah untuk memenuhi segala macam kebutuhan kita sebagai makhluk hidup berkaitan dengan kesejahteraan hidup di alam dunia dan alam akhirat.
Berilmu dapat dilakukan dengan menganl Allah, mengenal manusia, dan mengenal alam dengan menggunakan metode deduksi sebagai metode utama untuk mengenal Allah dan manusia, sedangkan untuk mengenal alam dapat digunakan metode induksi sebagai metode yang utama.
Ilmu yang dikehendaki islam adalah ilmu yang mengintegrasikan antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama dalam wujud sebagai aplikasi, tujuan dari integrasi ini adalah sebagai solusi dari modernitas yang menghiasi perkembangan pengetahuan dewasa ini.
 
BAB III
PEMBAHASAN

A.      Krisis Dunia Modern dan Sebab-sebabnya
Sudah tidak ada keraguan lagi, bahwa dunia modern ini adalah dunia yang dilanda oleh krisis. Untuk sekedar bukti kita kemukakan disini ulasan beberapa sarjana tentang hal tersebut, yaitu : Prof. Dr. DA. Tisnaamidjaja dalam bukunya “Iman, Ilmu dan Amal” mengatakan : “sesungguhnya sudahlah cukup bukti-bukti nyata, bahwa umat manusia kini karena ketamakannya dan kecerobohannya sedang menempatkan eksistensinya sendiri di dunia ini di dalam bahaya, banyaklah ahli-ahli ilmu pengetahuan, ulama-ulama di berbagai Negara di dunia, yang tidak hanya memepelajari keadaan sekarang, tetapi menunjukkan pula perhatiannya akan hari kemudian dari dunia dan segala makhluk yang menghuninya, atas dasar analisa-analisa fakta-fakta pada waktu  lampau dan keadaan sekarang yang berjalan, mereka itu sungguh-sungguh merasa cemas. Cemas bahwa jikalau manusia tidaklah lebih berhati-hati dengan mempergunakan kemampuan-kemampuannya, maka benar-benarlah akan terjadi, bahwa manusia akan merupakan alat pemusnah umat dan dunianya sendiri”.
Dr. Abu Hanifah dalam bukunya : “Rintisan Filsafat” mengatakan : Demikianlah dunia Barat mengalami krisis yang hebat, yang meruntuhkan segala apa yang sudah di tanam dengan hidmat oleh kebudayaan nenek moyangnya. Semua keadaan goyah, bergoyang, lapuk dan keadaan itu mengenai segala lapisan dan keadaan masyarakat individu dan keadaan masyarakat sendiri, rumah tangga dan perkawinan, pendidikan dan ilmu pengetahuan, perdagangan dan peruangan, kota dan dusun, Negara, politik internasional, agama dan banyak lagi”.
Roger Garaudy dalam bukunya : “ Promesses De L’ Islam” yang disimpulkan oleh Prof. Dr. H.M Rasyidi dalam “Kata Pengantar Penerjemah” dari buku tersebut, mengatakan : ”….. bahwa karena filsafat barat yang hanya bertitik tolak dari manusia, yakni semenjak filsafat Socrates, Aristoteles pada jaman Yunani, sampai Descartes dan J.P Sartre pada masa sekarang, begitu juga karena filsafat Hegel (1770-1831), dan Nietzsche (1844-1900) telah mengumumkan kematian Tuhan, sedang filsafat Freud (1856-1939) dan strukturalisme telah mengumumkan kematian manusia, maka peradaban Barat sekarang ini sudah sampai kepada jalan buntu.
Dengan ekonomi perkembangan (growth) yang mengikis habis sumber-sumber kekayaan manusia, dengan tujuan hidup konsumtif tanpa ada hubungan dengan transendensi, dengan perkembangan teknik senjata nuklir, manusia berada di ambang pintu kehancuran “.
Adapun sebab terjadinya krisis tersebut, bermacam-macam pulalah pendapat para sarjana, antara lain ialah : HS. Zuardin Azzaino, SE. dalam bukunya “Komunikasi Ilahiah” mengatakan : “ Kesalahan Konsepsi tentang Kebenaran” yang dewasa ini mendasari perkembangan ilmu pengetahuan, telah membawa bencana besar di muka bumi. Ilmu yang dikembangkan secara sekuler hingga kini merumuskan “kebenaran”  itu sebagai kecocokan suatu pendapat dengan kenyataan yang dapat diuji coba oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Kalimat “dapat di uji coba oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja” adalah suatu ungkapan sekuler , ungkapan yang dilatarbelakangi oleh pendirian bahwa yang ada itu hanyalah yang dapat diinderai. Sesuatu yang tidak dapat diinderai berarti tidak ada, tidak benar. Allah tidak dapat diinderai, tidak dapat diuji coba kebenaran adanya, diragukan adanya. Malaikat, jin, alam kubur, roh, surge, neraka, padang mahsyar dan lain-lainnya itu tidak dapat diinderai, tidak dapat dibuktikan kebenaran adanya, diragukan adanya. Jadi tidak ilmiah meyakini adanya Allah, malaikat, jin, roh, alam kubur, padang mahsyar, surga dan neraka itu. Maka lahirlah faham komunis, pandangan hidup materialistis, sekuler dan seterusnya. Maka lahirlah pandangan dan aliran fikiran kapitalisme, persaingan bebas, yang lemah dihancurkan yang kuat, yang bodoh ditipu yang pintar, penjagalan, pemerasan, pelacuran. Crime-Business atau industry kejahatan dianggap sebagai suatu lapangan perjuangan hidup yang menguntungkan. Bodoh sekali orang yang alim-alim itu. Maka sengsaralah umat manusia yang lemah dimuka bumi ini”.  Jadi menurut HS. Zuardin Azzaino SE, yang menyebabkan terjadinya krisis di dunia m,odern adalah karena dunia modern hanya mengakui hal-hal yang nyata (yang dapat diinderai) saja. Sedang hal-hal yang gaib tidak diakui.
Dr. A. Rauf SH, dalam bukunya “Al-Quran dan ilmu Hukum” mengatakan : “Selain daripada itu, sikap ilmu hukum yang lebih mementingkan hak daripada kewajiban itu mempunyai akibat-akibat psychologis yang amat dalam dan membahayakan dalam masyarakat umat manusia. Dari seorang manusia biasa di tengah pasar, sampai kepala siding Dewan Keamanan PBB, manusia selalu meneriakkan hak-haknya dan meminta diperhatikan hak-haknya. Jarang kita mendengar manusia itu membicarakan kewajiban-kewajibannya, bagaimana cara melaksanakan kewajiban-kewajibannya itu. Veto dalam sidang Dewan Keamanan  berdasarkan pada hak-hak yang dirasakan dilanggar oleh orang lain. Hak Subjektif  yang lebih dipentingkan oleh ilmu hukum daripada kewajiban telah membawa umat manusia ke dalam suatu kekusutan dan kegoncangan”. Jadi menurut Dr. A Rauf SH, yang menyebabkan terjadinya krisis di dunia modern adalah karena dunia modern lebih mementingkan hak dari kewajiban.
Dr. Abu Hanifah dalam bukunya “Rintisan Filsafat” mengatakan : “ Belum juga mengerti pemimpin-pemimpin dunia istimewa di Barat bahwa kekacauan dunia tidak saja terletak pada kekacauan perdagangan dan peruangannya, tetapi terlebih lagi pada kekacauan batin, yang pokok pangkalnya dari segala akibat-akibat yang sudah terjadi. Umumnya seluruh dunia, istimewa dunia Barat sangat dipengaruhi oleh kekacauan batin itu. Dalam segala hal mulai dari sekolah ke kantor, mulai dari kerani ke perdana menteri, dari student ke guru besar dan dari pembeli ke penjual, dan mungkin kaum petani pun dihinggapi kekacauan batin itu”. Prof. Dr. DA. Tisnaamidjaja sependapat dengan Dr. Abu Hanifah ini. Beliau mengatakan : “ Hura-hura dunia, pada hakekatnya dan sebagai sumber asal mulanya adalah hura-hura yang timbul di dalam hati sanubari manusia sendiri sebagai insan. Hari kiamat dunia, sesungguhnya sudahlah dimulai, jika pada hati paribadi manusia-manusia telah timbul kiamat-kiamat kecil (Iman, Ilmu dan Amal halaman : 4). Adapun kekacauan batin ini disebabkan oleh karena jasmani diberi makan sekenyang-kenyangnya, sedangkan rohani dibiarkan lapar selapar-laparnya. (Rintisan Filsafat halaman 8). Jadi menurut Dr. Abu Hanifah, yang menyebabkan terjadinya krisis di dunia modern adalah karena dunia modern lebih mementingkan jasmani dan rohani.
Menurut Al-Quran segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan (QS. Adz – Dzariyat 49) , seperti dunia-akhirat, lahir-batin, laki-perempuan, positif-negatif, subyektif-obyektif, kaya-miskin, baik-buruk, hak-kewajiban, dan sebagainya.
Pasangan-pasangan tersebut harus dilayani manusia secara berimbang. Sebab Allah telah membuat hukum perimbangannya (QS. Al-Hijr : 19 dan QS. Ar-Rahman : 7). Dan manusia tidak boleh melanggarnya (QS. Ar-Rahman : 8). Kalau dilanggar juga, maka akan terjadilah ketidakharmonisan atau krisis, seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa cendekiawan tersebut di atas.
Adapun yang menjadi sebab utama dari krisis dunia modern ini adalah pemisahan antara pasangan ilmu pengetahuan dan ajaran agama. Dr. Ir. Hidajat Nataatmadja dalam bukunya “ Karsa Menegakkan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah”, mengatakan : “ Prinsip pemisahan antara agama dan ilmu itulah sumber penyakit itu…..”. Al-Quran menyatakan, orang-orang yang tidak beragama Allah adalah seburuk-buruk hewan melata. Walaupun mereka berilmu banyak (QS. Al Anfal : 55) dan orang-orang yang tidak berilmu adalah seburuk-buruk hewan melata, walaupun mereka beragama (QS. Al Anfal : 22 dan QS. Al A’raf : 179).
Apa yang dinyatakan Al Quran ini sudah ditemukan di dalam kenyataan kehidupan manusia. Orang-orang kafir dengan kebebasan sex mereka dan dengan bermacam-macam teori mereka seperti teori ekonomi dan politik, telah menjadi lebih buruk dan lebih buas dari hewan.
Roger Garaudy dalam bukunya “ Promemee De L’ Islam (Janji-Janji Islam)”mengatakan : “ ……Eropa  telah beralih sifat dari “kebodohan yang buas” menjadi “ kebuasan yang pintar”. Dan orang-orang Islam dengan kebodohan mereka telah mempunyai citra yang paling buruk di dunia.
Dr. Ismail Raji Al-faruqi dalam bukunya “ Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan (Islamisasi Pengetahuan)”, mengatakan : “Pada saat ini mereka (Kaum Muslimin) mempunyai citra yang paling buruk”.
Karena itu satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi krisis dunia modern tersebut adalah dengan pengintegrasian ilmu pengetahuan dan ajaran agama.

B.       Sejarah Pemisahan Ilmu dan Agama
Pada mulanya agama Kristen di Barat merupakan agama yang tidak disukai dan pemeluknya dikejar-kejar serta disiksa. Hal ini berjalan sampai ratusan tahun. Tetapi setelah raja Roma Constantine memeluk agama Kristyen keadaan berubah menjadi terbalik. Kini agama Kristen menjadi agama Negara dan agama yang berkuasa, sehingga lama-kelamaan kekuasaa Paus dan pemuka-pemuka agama menjadi sedemikian besarnya sampai para Raja di Barat tunduk kepada mereka.
Pada suatu waktu Paus dan pemuka-pemuka agama itu membuat pula teori-teori ilmu pengetahuan berdasarkan puncak pengetahuan manusia pada suatu masa, seperti sejarah, ilmu bumio dan ilmu pengetahuan alam. Kemudian teori-teori ilmu pengetahuan tersebut mereka sucikan, artinya tidak boleh dibantah oleh siapapun dan dengan cara yang bagaimanapun. Siapa yang tidak mempercayainya dianggap kafir. Padahal ilmu pengetahuan itu selalu berubah.karena itu akhirnya terjadilah pertentangan antara pemuka agama dengan para ahli ilmu pengetahuan.
Untuk mengatasi pertentangan tersebut, pemuka agama mengadakan mahkamah Gereja (in quisisi), untuk mengadili orang-orang yang menurut kata-kata paus adalah orangt-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, orang-orang yang durhaka kepada Tuhan. Mahkamah ini bekerja sangat intensif, dan sangat kejam, sehingga orang-orang yang diadilinya mencapai jumlah 300.000 orang. 32.000 orang diantaranya dihukum bakar hidup-hidup. Diantaranya terdapat dua orang ahli ilmu pengetahuan yang terkenal, yaitu Bruno dan Galileo. Bruno mengatakan “ alam ini banyak jumlahnya”, dan galileo mengatakan “bumi berputar di sekitar matahari. Pendapat mereka ini bertentangan dengan pendapat gereja.
Sampai di tahap ini para ahli ilmu pengetahuan sudah tidak sabar lagi lalu mereka memberontak dan memerangi para pemuka agama, akhirnya mereka membenci segala yang berhubungan dengan pemuka agama tersebut. Mula-mula mereka hanya memusuhi agama Kristen, tetapi kemudian berkembang menjadi memusuhi semua agama. Lalu timbullah peperangan antara para ahli  ilmu pengetahuan dengan para pemuka agama, dan selanjutnya berubah menjadi peperangan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Para ahli ilmu pengetahuan memutuskan, bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang tidak dapat diperdamaikan. Barang siapa yang menerima salah satunya berarti menolak yang lainnya. Barang siapa yang percaya kepada salah satunya berarti tidak percaya kepada yang lainnya. Semenjak itu berpisahlah ilmu dan agama di negeri-negeri Barat sampai hari ini.
Di Timur yang memisahkan ilmu dan agama adalah para ahli agama (ulama) sendiri. Sejarahnya adalah begini : Islam adalah agama yang sangat mementingkan ilmu. Ratusan ayat al-quran dan hadist nabi yang menyuruh menuntut ilmu, memuji orang yang berilmu dan mencela orang yang bodoh. Orang yang berilmu amat tinggi derajatnya (QS. Al-mujadalah : 11 dan QS. Fathir : 28), sedangkan orang yang bodoh amat rendah derajatnya, lebih sesat dari hewan (QS. Al-A’raff : 179 dan QS. Al-anfal : 22). Bahkan Allah menghendaki agar manusia mencari keterangan atau bukti tentang adanya dengan ilmu tentang alam ( QS. Ali-Imran : 191). Karena islam mengendaki kehidupan manusia yang makmur (QS. Hud : 61) dan bahgia (QS. Ar-Ra’du : 29). Hal itu hanya bisa dicapai oleh manusia dengan ilmu dan agama.
Pada mulanya umat Islam memenuhi tuntutan agama itu dengan sebaik-baiknya. Mereka cari ilmu kemana-mana, mereka terjemahkan buku-buku ilmu dari berbagai bangsa, dan akhirnya mereka susun ilmu-ilmu baru. Merekalah yang menjadi pelopor ilmu Al-jabar, ilmu Al-khemi, ilmu kedokteran, ilmu Al-falaq, ilmu musik dan sebagainya.
Tetapi kemudian mereka tertimpa juga oleh hukum kelaziman kebudayaan, yaitu akulturasi atau mungkin karena kekurang hati-hatian mereka. Mereka telah memasukkan pula kedalam ilmu-ilmu itu teori-teori yang bertentangan dengan ajaran islam, seperti yang telah diuraikan oleh Imam Al-Ghazali dalam bukunya “ Tahafutul Fulasifah”. Akibatnya terjadi pulalah pertentangan yang hebat di kalangan ilmuwan Islam dan tokoh agama Islam.
Tokoh-tokoh agama mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengharamkan ilmu, terutama ilmu filsafat, dan mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Bahkan orang-orang yang mempelajari dan mengajarkan filsafat, ditangkap, dipenjarakan dan disiksa serta buku-bukunya di bakar, seperti yang dialami oleh Abdus Salam bin Abdul Qadir Al Bagdady yang dimasyurkan dengan sebutan Ar- Run dan Ibnu Rusydi.
Menurut A. Hanafi MA, dalam bukunya, “Pengantar Filsafat Islam” fatwa yang begitu keras dan menjadi pegangan yang penting bagi golongan ahlussunnah dalam hal ini adalah fatwa Ibnus Sholeh, Ibnu Hazm, Al Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim sebelumnya telah menyerang pula filsafat, tetapi pengaruhnya tidak sehebat pengaruh fatwa Ibnu Sholeh.
Ketika Ibnu Sholeh dimintai pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu mantik, tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang menulis dan mengajar filsafat di sekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai berikut : “ Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan syari’ah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barang siapa yang mempelajarinya, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh syetan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina daripada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita? ”. “ Tentang mantik, maka ialah  jalan kepada filsafat , sedang jalan keburukan adalah keburukan pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh shahabat, tabiin, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf dan anutan-anutan serta tokoh-tokoh umat, dimana Tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran-kotoran ilmu itu”.
“ Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantik dalam hukum-hukum syara’ maka termasuk kemunkaran, dan untungnya hukum-hukum syara’ tidak memerlukan mantik sama sekali. Apa yang dikatakan oleh orang ahli logika tentang definisi dan argumen-argumen untuk logika maka adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu syari’at yang benar fikirannya dari hal-hal tersebut. Syari’at dan ilmu-ilmunya telah lengkap, dan para ulamanya telah mnyelami lautan kebenaran dan ketelitian, dengan tidak ada mantik, filsafat ataupun filosof-filosof.”
“ Barang siapa mengira bahwa mempelajari ilmu-ilmu mantik dan filsafat karena ada faedah yang diperolehnya, maka ia telah dibujuk syetan dan ditipunya. Maka yang wajib bagi penguasa adalah agar mereka menjauhkan keburukan-keburukan para benalu tersebut. Dan mengeluarkan mereka dari sekolah-sekolah yang lebih wajib lagi ialah memecat seorang guru sekolah yang dari ahli filsafat, mengajar dan membacakannya pula, kemudiandipenjarakan dan disuruh menetap dirumahnya.”
Ibnus Sholeh juga pernah ditanya tentang hukum syara’ mengenai orang yang mempelajari Ibnu Sina dan karangan-karangannya, maka jawabnya : “ siapa yang berbuat demikian, maka ia telah mengkhianati agamanya dan bisa terkena fitnah besar, karena Ibnu Sina tidak termasuk ulama, melainkan ia termasuk syetan yang berwujud manusia. Karena itu berkembanglah faham anti ilmu dikalangan umat islam. Baru semenjak awal abad ke 20 ini umat Islam menyadari kembali akan pentingnya ilmu bagi kehidupan manusia.

C.      Apa Itu Ilmu
Umumnya orang-orang mengira bahwa yang ada itu hanyalah apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera saja dan sumber ilmu adalah pengalaman, maka dalam perspektif definisi tersebut diatas ilmu adalah pengenalan terhadap realitas obyek. yang ada itu adalah obyek dan subyek serta sumber ilmu adalah pengalaman dan rasio. Atau ilmu dalam sudut pandang ini adalah pengalaman yang dirasionalkan.
Menurut Syahminan sumber ilmu dalam Islam ada tiga, yaitu Allah, alam dan agama Allah. Definisi tersebut dalam kacamata penulis tidak memberikan definisi ilmu secara utuh, karena tidak menjelaskan apapun mengenai ilmu tidak ada asumsi mengapa ketiga hal tadi menjadi sumber ilmu. Lanjutnya, ilmu dalam perspektif Islam merupakan integrasi yang mantap antara ilmu pengetahuan dan agama. Namun menurut penulis ilmu tidak hanya dipahami sebagai seperangkat pengetahuan yang terintegrasi atau begitu mudahnya kita mengataka berbagai spectrum pengetahuan bersumber dari Islam. Tanpa kita mengetahui apa ilmu dan siapa ilmu.
Ketika berbicara ilmu, maka mesti Nampak seperti apakah jenisnya, bentuknya, warnanya dan lain sebagainya sehingga membentuk satu definisi utuh mengenai ilmu. Dalam kajian ilmu yang penulis pahami, sumber ilmu adalah Al-Quran. Tidak ada satu orang Islam pun yang membantah hal ini. Namun mesti dijelaskan AlQuran seperti apakah yang menjadi ilmu pengetahuan. Maka, jawabannya adalah Pertama AlQuran sebagaimana kita tahu, kita pegang saat ini. Yang merupakan bentuk fisik yang bisa kita jelaskan dan pahami secara inderawi. Tetapi bicara AlQuran dalam bentuk fisik yang kita pahami. Belum mampu menjelaskan ilmu pengetahuan secara utuh. Karena keberanian seseorang untuk menafsirkan AlQuran berakibat pada dorongan subyektivitas yang tidak bisa dihilangkan, Muhammad Baqir Ashshadr memberikan sebuah ilustrasi bagaimana kita mampu memahami kerja keras para ulama, sekuat apapu para ulama meyakinkan dirinya mengenai apa yang ia pahami dan tafsirkan dari Alquran, maka celah keraguan tetap akan mengikuti dalam segenap usahanya. Maka kita membentuhkan seorang petunjuk ilmu yang Allah garansi, tidak ada celah kesalahan bahkan dosa sedikitpun. Maka hal inilah yang kemudian menjadi asumsi kedua, yaitu AlQuranun Natiq, pertanyaannya adalah siapa AlQuranun Natiq ini? tidak lain dan tidak bukan adalah AhlulBait Rasulullah, pewaris ilmu Rasulullah, pelanjut proytek dakwah Rasulullah yang sempurna, yang Allah abadikan nama mereka dalah AlQuran surat Al Ahzab Ayat 33. Merekalah salah satu dari 2 warisan yang Rasulullah wasiatkan pada umatnya yang keduanya tidak akan terpisah satu sama lain yaitu ALquran dan Ahlul bait Rasulullah. Alquran adalah Alhaq dan Alhaq adalah AlQuran. Siapakah AlHaq merakalah Ahlul Bait Rasulullah. Berkali-kali Allah sebutkan nama mereka sebagai ulil mari, ulil albab, almuttaqin, ahladzdzikir. Dsb.
Maka, berbicara sumber ilmu dalam dua definisi diatas menjadikan ilmu pengetahuan dapat dipahami secara utuh, karena AlQuran adalah sumber petunjuk dan Ahlul Bait adalah petunjuk AlQuran. Mereka menjadi petunjuk AlQuran bagi umat Islam karena pengetahuan mereka yang sempurna mengenai Allah dan AlQuran.

D.      Mengapa Harus Berilmu
Berikut alasan-asalan yang dilontrkan oleh Syahminan mengenai mengapa manusia harus berilmu. Yang terpenting diantaranaya adalah:
1.        Allah menghendaki agar segala sesuatu yang hendak dikerjakan oleh manusia, haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan. Karena itu Allah melarang manusia mengerjakan sesuatu, yang mereka tidak memahami sesuatu tersebut.
2.        Allah mengehndaki agar segala sesuatu yang hendak diminta oleh manusia kepada-Nya. Mereka mengetahui secara sempurna apa yang mereka minta.
3.        Allah menyatakan, bahwa Allah hanya akan menerima amalan seseorang, jika ia memahami apa yang ia kerjakan.
4.        Islam mewajibkan umatNya untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Nabi: “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang”.
5.        Orang yang tidak berilmu lebih lebih buruk dari binatang. Bahkan, dinyatakan sebagai seburuk-buruk hewan melata.
6.        Manusia adalah Khalifatu fil ardh.
7.        Setiap manusia secara sadar mengehndaki dirinya senantiasa maju dan lebih maju lagi.
8.        Syetan adalah musuh yang nyata bagi manusia, ia menggoda dengan berbagai cara, daya dan upaya.
9.        Manusia adalah makhluq yang bertanggungjawab dengan sarana kelengkapan inderawi.

E.       Untuk Apa Berilmu
Dari uraian diatas, Syahmini menyimpulkan untuk apa ilmu itu bagi manusia, sebagai berikut:
1.        Agar amal dan doa kita diterima Allah.
2.        Untuk mengangkat derajat manusia.
3.        Untuk dapat menyelesaikan tugas kekhlaifahan di muka bumi.
4.        Mencapai kemajuan hidup.
5.        Untuk dapat mengalahkan musuh-musuh mukmin.
6.        Untuk dapat mempertanggungjawabkan semua nikmay Allah yang telah diterima manusia, semua aktivitas yang telah dilakukannya. Semua ide, gagasan, ilmu dan teknologi yang dibuatnya dan semua janji yang telah diikrarkannya, kepada Allah nanti di Akhirat.

F.       Bagaimana Cara Berilmu
Ilmu ialah mengenal Allah Ta’ala, manusia, dan alam dengan ilmu Allah Ta’ala yang ada pada diri-Nya pada alam dan pada agama-Nya lewat panca indera, akal dan hati. Pancaindera, akal, dan hati merupakan saran yang Allah Ta’ala berikan untuk mempermudah kita berilmu. Cara untuk mengenal Allah Ta’ala, manusia, dan alam dapat menggunakan metode deduksi dan induksi.
Mengenal Allah Ta’ala dan mengenal manusia dapat menggunakan metode deduksi sebagai metode yang utama. Cara pertama mengenal Allah Ta’ala dapat dilakukan dengan mempelajari wahyu Allah Ta’ala yaitu Al-Quran, dengan mempelajari ini kita bisa mengenal sifat-sifat Allah, nama-nama Allah Ta’ala dan hubungan-Nya dengan makhluk-Nya. Cara kedua dapat dilakukan dengan mempelajari alam secara mendalam dengan batuan dalil-dalil yang dikemukakan cendikiawan, antara lain dalil cosmologi, astronomi, antropologi, psycologi, ontology, teologi, inayah, ikhtira, moral, intuisi, dan gerak. Dengan mempelajari alam kita kana tahu bahwa alam itu tidak hadir dengan sendirinya tetapi ada yang menciptakan, yaitu Allah Yang Khaliq dan Rabb seluruh alam.
Setelah mengenal Allah Ta’ala selanjutnya kita bahas cara mangenal manusia, manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah Ta’ala. Dalam buku Drs. H. Syahminan Zaini (1989:25) Dr. Ir. Hidajat Nataatmadja mengatakan; ‘Manusia sebagai subjek, sebagai makhluk spiritual, tidak bisa dipelajari dengan ilmu obyejtif atau sains’. Kemudian baliau katakana lagi: ‘Tidak ada jalan lain untuk mengenal diri (manusia), kecuali berplaing keajaran agama’. Dengan demikian satu-satunya cara mengenal manusia adalah dengan mempelajari wahyu Allah Ta’ala yang berhubungan dengan manusia itu. Cara mengenal alam yaitu melalui Al-Quran dengan meneliti alam, memanfaatkannya, dan melestarikannya. Tiga langkah yang ditawarkan Allah Ta’ala melalui Al-Quran merupakan indikator seseorang mengenal alam.

G.      Ilmu Yang Dikehendaki Islam
       Ilmu tidak boleh dipisahkan dari amal, perlu ada realisasinya. Setelah kita tahu bagaimana caranya berilmu maka semua yang kita ketahui tidak hanya sampai pada tahu semata, begitulah ilmu yang dikehendaki islam. Setiap ilmu yang kita pelajari harus bermanfaat untuk kebaikan dan bisa mencegah terjadinya kemungkaran dan ini telah disampaikan oleh Allah Ta’ala didalam surat cinta-Nya. Harus ada integritas antara ilmu umum dan ilmu agama.
       Ilmu tentang Allah Ta’ala yang telah kita peroleh harus terwujud dengan terjalinya hubungan seorang manusia dengan Tuhannya, hamba dengan Rabbnya, makhluk dengan Penciptanya. Jalinan hubungan tersebut terwujud dalam keimanan dan ibadah. Dengan beriman terhadap eksistensi Allah Ta’ala dalam kehidupan sehingga memunculkan keyakinan yang dan akan mempengaruhi diri sehingga diwujudkan dalam bentuk ibadah. Ilmu tentang manusia terwujud dalam bentuk dalam hubungan baik antara sesama manusia. Hubungan baik tersebut dapat diwujudkan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, seni, budaya sehingga tercipta harmonisasi dala kehidupan bermsasyarakat.
       Ilmu tentang alam terwujud dalam bentuk penelitian, pemanfaatan, dan pelesterian terhadap alam. Untuk menjaga agar ilmu dan pengetahuan tetap dalam rel-rel kebenaran maka diperlukan pedoman sebagai rujukan. Pedoman yang dapat dijadikan rujukan setiap ilmu adalah Al-Quran.
 
BAB IV
PENUTUP

Krisis modernitas yang terjadi pada saat ini merupakan akibat dari kesenjangan ilmu pengetahuan dan agama. Pengetahuan dan agama sengaja dipisahkan, karena rasa frustasi para ilmuwan barat yang menganggap lembaga-lembaga keagamaan tidak mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan dan dogma-dogma gereja yang mereka anggap menyesatkan, lebih jauh gereja bisa memvonis siapapun yang bersebrangan pendapatnya sebagai orang sesat dan halal darahnya, sehingga tidak mengherankan para ilmuwan barat pada masa itu banyak terkena vonis mati dari gereja. Dalam pandangan penulis gereja telah melakukan upaya terlalu jauh sampai vonis yang keluar dari batas kemanusiaan. disatu sisi berusaha sebagai lembaga pengadil sampai-sampai mengadili para ilmuwan yang bersebrangan dengan vonis apapun untuk menjaga status quo sebagai lembaga keagamaan tertinggi, tentu saja rasa keadilan yang digunakan adalah keadilan hanya dalam sudut pandang gereja. Disisi lain gereja pun, banyak melakukan penyimpangan, penimbunan harta (upeti yang diambil dari masyarakat atas nama Tuhan bisa dilihat di gereja basilica vatikan), penyimpangan seksual dan lain sebagainya.
Karenannya menurut Syahminan, baik umat Islam maupun orang barat mestilah berilmu menurut kehendak Allah, ia menegaskan umat Islam memikul dua kewajiban. Yaitu:
1.        Menjadikan diri mereka berilmu sebagaimana yang dikehendaki Allah. Hal ini menyebabkan merombak sistematika ajaran Islam yang sedang mereka pegangi dan system pendidikan yang mereka laksanakan. Dalam hal ini penulis menilai para ilmuwan muslim sedikit demi sedikit mulai meragukan ajaran Islam yang mereka yakini selama ini dan mereka pegang sebagai pegangan hidup (way of life), sebagian dari mereka menganggap ajaran Islam tidak lagi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Siklus yang mereka hadapi bisa jadi sama dengan apa yang dirasakan para ilmuwan barat pada era renasissance.  Namun disisi lain sebagian ilmuwan muslim pun merasa gerah dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan tidak menghasilkan peningkatan moralitas dan religiusitas. Dalam perspektif penulis perkembangan ilmu pengetahuan mesti berbanding positif dengan keimanan kita. Semakin berkembang ilmu pengetahuan semakin dekat kita dengan kebenaran yang mutlak. Atau dalam arti lain perkembangn ilmu pengetahuan mesti memiliki korelasi positif dengan kehidupan akhirat kita nantinya. Semakin banyak orang berilmu semakin banyak orang yang religious dalam arti sebenarnya.
2.        Umat Islam juga mesti menginformasikan dan mempengaruhi orang barat dengan integrasi dan aplikasi ilmu yang menurut kehendak Allah, sehingga ilmuwan barat tersadar mengaplikasikan ilmu yang terintegrasi dengan agama.
Bagi umat Islam tentu saja, mulai menyadari bahwa pengetahuan dalam Islam bersifat holistic. Artinya selain berbicara hal-hal yangat duniawi juga ukhrawi. Pengetahuan tersebut mesti menyadarkan kita tentang sumber ilmu yang tidak akan pernah menyesatkan kita selama-lamanya, sebagaimana Nabi telah sabdakan: “aku tinggalkan dua yang amat berharga yang jika kalian (umatku) pegang tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu ALQuran dan itrah Ahlul Baitku”. Tidak ada pilihan bagi kita selain menggali kebenaran ilmu dari dua pusaka yang nabi tinggalkan. Dengannya kita akan semakin yakin dengan kebenaran Islam. Tidak seperti saat ini seakan-akan abu dan sama dengan kebenaran dalam agama lain. Hal-hal yang justru menjauhkan kita dari kebenaran yang hakiki.
           
Daftar Pustaka

Al-Qur'an

Mulyadhi Kartanegara. (2005). Integrasi Ilmu Sebuah Rekontruksi Holistik. Jakarta. Arasy Mizan

Syahminan Zaini. (1989). Integrasi Ilmu dan Aplikasinya Menurut Al-Qur’an. Jakarta. Kalam Mulia
 

Categories:

0 comments: