Saturday 24 November 2012
Oleh : Muhammad Fajrin Mustafa
Kota Bandung terkenal sebagai Kota Pendidikan, kota pusat
intelektual, dan khazanah keilmuan yang konon sudah tumbuh pesat semenjak pemerintahan
Hindia Belanda. Dari sinilah tumbuh pesat tempat-tempat pendidikan mulai dari
tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Tinggi.
Logika umum yang sederhana menyatakan sekolah adalah tempat
dimana dilangsungkannya kegiatan belajar dan mengajar siswa oleh para guru.
Penelaahan yang sedikit filosofis, sekolah merupakan wahana yang membentuk daya
kreasi dan imajinasai siswa sehingga mereka mampu menggali dan memunculkan
potensinya untuk mengukir prestasi yang lebih baik tidak hanya dalam konteks penalaran
bahan ajar yang diberikan.
Peranan pendidikan dalam meningkatkan kulalitas SDM
menjadikan Kota Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia tentunya
bukanlah hal baru lagi bagi masyarakat di negara ini. Banyaknya kekayaan alam
yang tersimpan di kota kembang, dan tingginya kreativitas sumber daya manusia
yang berada di kota tersebut, menjadikan Kota Bandung sebagai barometer
pertumbuhan industri kreatif di tingkat nasional. Paper ini berjudul “Bandung
dan Social Entrepreneurship” yang bertujuan menganlisis tentang peran Bandung
sebagai kota pendidikan dan kreatif dalam membentuk social entrepreneur
mahasiswa dari luar Kota Bandung. Analisis ini berdasarkan analisis deskriptif.
Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan
dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan,
dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari
Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan
menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social
change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan
kesehatan (healthcare) (Santosa dalam Nurrahman, 2009).
Konsep secara umum dari Social Entrepreneurship, sebenarnya
bukan merupakan sebuah lembaga atau organisasi bentukan atau turunan dari
perusahaan dan lembaga pemerintahan yang bersifat komersial. Akan tetapi murni
merupakan sebuah usaha entrepreneurship yang bergerak di bidang sosial. Pada
awalnya, Social Entrepreneurship mempunyai inti pemberdayaan dalam bidang kemasyarakatan
yang bersifat voluntary atau charity (kedermawanan dan sukarela). Dalam hal ini
membentuk sebuah lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan, anak asuh atau
donasi untuk beasiswa di bidang pendidikan.
Konsep awal mula Social Entrepreneurship tidak menekankan
pada usaha untuk menghasilkan profit. Jika ada profit, bukan menjadi tujuan
utama dan nilainya bisa dibilang kecil. Karena inti utama dalah pemberdayaan
untuk kemaslahatan bersama.
Model yang dikembangkan oleh Misra dan Kumar (2000)
berkaitan dengan faktor-faktor yang memunculkan entrepreneurial behavior
diawali pada faktor demografis dan faktor psikologi. Mengenai faktor demografi,
Misra dan Kumar (2000) menyimpulkan tiga hal dari beberapa penelitian yang ada.
Dinataranya sebagai berikut:
(a) the assumption
that certain demographic characteristics lead to similar experiences in life
has been disproved; (b) many researchers use demographic characteristic as
surrogates for personality characteristics, which is again an extension of the
assumption just stated; and (c) this line of research has been woefully
inadequate in predicting who will or will not be an entrepreneur, Dimensi yang dikembangkan untuk faktor psikologi dari
penelitian Misra dan Kumar (2000) terdiri dari sikap yang terdiri dari achievement
motive, locus of control, risk taking and values, lalu situation dan intention.
Hasil dari penelitian Misra dan Kumar (2000) menyatakan bahwa faktor demografis
dan psikologi mempengaruhi sikap berwirausaha. Zulganef, Farida Nursjanti
(2009) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara budaya individualism
dengan karakteristik kewirausahaan.
Dalam penelitian lain, yaitu penelitian Tur Nastiti dkk
(2010) dikembangkan beberapa faktor yang mempengaruhi minat wirausaha
diantaranya adalah faktor kepribadian
yang terdiri dari kebutuhsn akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi
pribadi.
Tur Nastiti dkk (2010) menjelaskan bahwa kebutuhan akan
pencapaian sebagai salah satu keinginan yang memotivasi orang dalam berprilaku
disamping keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk bersosialisasi dengan
lingkungan. Sedangkan untuk lokus kendali Tur Nastiti dkk (2010) menjelaskan
bahwa ia didefinisikan sebagai keyakinan yang muncul sebagai akibat dari adanya
kemampuan, kemauan, dan keahlian. Mengutip dari Bandura (Tur Nastiti dkk, 2010)
yang dijelaskan oleh Tur Nastiti dkk berkaitan dengan efikasi pribadi yang
merupakan wujud sikap kepercayaan akan diri sendiri untuk menyelesaikan sebuah
pekerjaan.
Bandura (Tur Nastiti dkk, 2010) menjelaskan empat cara untuk
meningkatkan efikasi pribadi yaitu dengan keberhasilan yang berulang,
pembelajaran secara langsung, dukungan sosial, dan evaluasi status psikologi
untuk mengurangi tekanan. Secara umum penelitian Tur Nastiti dkk (2010)
menyatakan bahwa kebutuhan akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi pribadi
dapat mempengaruhi minat wirausaha.
Tumbuh kembangnya minat wirausaha juga tak lepas dari
pendidikan dalam penelitian Tur Nastiti dkk (2010) menjelaskan bahwa latar
belakang pendidikan berpengaruh negatif terhadap minat berwirausaha di
Indonesia karena orientasi pendidikan
kurikulum ekonomi dan bisnis tidak diarahkan untuk berwirausaha. Sebagai respon
terhadap hal ini Asep Surayan (2009) dalam hasil penelitiannya merekomendasikan
agar Perguruan TInggi (PT) (1) menjadikan kewirausahaan sebagai dasar reorientasi manajemen PT, (2)
Memasukkan semangat kewirausahaan untuk mewarnai muatan lokal dalam kuriulum
dikti sebagai perwujudan PT dalam merespon perkembangan eksternal, (3) Menjadikan
semangat kewirausahaan sebagai strategi pencapaian tujuan PT, (4) Memasukkan
semangat kewirausahaan kedalam program-program pengabdian masyarakat.
Sebagai mahasiswa yang berasal dari Kalimantan Barat (anak
rantau). tentunya bukan hal yang mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan ketika
berada ditanah rantau (Kota Bandung). Keberhasilan sektor pendidikan dalam
mendidik SDM agar berkualitas dibuktikan dengan dijadikannya Bandung sebagai
icon dari pertumbuhan ekonomi kreatif. Hal ini tidak terlepas dari kreatifitas
yang dimiliki SDM yang ada dibandung sehingga Bandung menjadi satu diantara
tujuan wisata yang diminati wisatawan asing dan lokal.
Pertumbuhan ini akan membangun kompetisi yang tinggi dengan
tujuan untuk bisa lebih baik. Kompetisi yang muncul berada pada bidang
commercial entrepreneur dan social enterpreneur. Ketatnya kompetisi ini karena
faktor demografis dan psikologi sehingga memunculkan entrepreneur behaviors.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Misra dan Kumar (2000) serta hasil
penelitian Zulganef dan Farida Nursjanti. (2009).
Faktor demografis dan psikologi kota Bandung dirasa membawa
efek positif untuk anak rantau, walaupun waktu tinggal di Bandung belumlah
lama. Hal pertama yang dirasa adalah munculnya sikap mau berkorban dan segera
bertindak. Tuntutan sebagai mahasiswa bukanlah konsekwensi yang bisa
disepelekan karena hal ini berhubungan dengan masa depan. Berkorban uang,
waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan menyita keinginan anak rantau untuk tetap
berada dizona nyaman. Ketika teman yang lain bisa dengan leluasa untuk hidup
dengan royal, memanfaatkan waktu dengan bersantai, dan memperoleh sesuatu tanpa
harus bekerja dengan maksimal dan totalitas. Anak rantau harus membuang
jauh-jauh pikiran untuk tetap berada dizona nyaman.
Hal kedua dan ketiga akan terkait dengan hasil penelitian
Tur Nastiti dkk (2010). Kedua, kesediaan untuk segera action. Kota Bandung
merupakan kota pendidikan dan kota kreatif. Satu diantara bentuk kreatifitas
yang ada adalah terbentuknya komunitas dibidang jasa pendidikan dan pelatihan
dengan orientasi non-profit. Hal ini telah menginspirasi anak rantau sehingga
mampu membentuk RUHANI Learning Center (RLC) dikampung halaman. RLC merupakan lembaga yang bergerak
dalam pendidikan dan pelatihan dibidang peningkatan kulitas SDM khususnya
diklat untuk anak pantiasuhan dan masyarakat ekonomi lemah yang berada di
Pontianak Kalimantan Barat. Selain itu RLC juga memfokuskan kegiatan untuk
memberi beasiswa pendidikan dalam program talangaek yaitu penggalangan dana
untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
Ketiga, mampu mempengaruhi orang lain. Tentunya RLC akan
lebih baik jika banyak tenaga yang berkecimpung didalamnya. Si anak rantau
berhasil mengajak orang-orang terdekat untuk bersedia ikut serta dalam
melaksanakan visi dan misi yang ada. Orang-orang tersebut adalah istri,
saudara, dan teman. Bahkan berkat proses komunikasi dan usaha keras, RLC
berhasil membuat program talangaek menjadi sebuah program kegiatan yang akan
dilaksanakan disebuah perguruan tinggi swasta di Pontianak. Kegiatan ini
dikelola langsung oleh badan eksekutif mahasiswa di perguruan tinggi tersebut.
Berkaitan dengan pembahasan yang ada, maka social
entrepreneur memiliki kesamaan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya
adalah model yang dikembangkan oleh Misra dan Kumar (2000) yang menyatakan
bahwa faktor demografis dan psikologi mempengaruhi sikap berwirausaha. Serta
penelitian Zulganef, Farida Nursjanti (2009) tentang hubungan individualism
dengan karakteristik kewirausahaan. Faktor-faktor ini dapat juga diadopsi untuk
meneliti social entrepreneur dan realisasi ini telah digambarkan pada bagian
pembahasan.
Sejalan dengan model yang dikembangkan Misra dan Kumar
(2000), Tur Nastiti dkk (2010) mengembangkan model yang lebih spesifik pada
kebutuhan akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi pribadi. Tur Nastiti dkk (2010)menyatakan bahwa
kebutuhan akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi pribadi dapat
mempengaruhi minat wirausaha. Faktor-faktor ini dapat juga diadopsi untuk
meneliti social entrepreneur dan realisasi ini telah digambarkan pada bagian
pembahasan.
Pengembangkan kewirausahaan sebaiknya berorinetasi
commercial entrepreneur dan social entrepreneur dengan mengadaptasi hasil
penelitian Asep Surayan (2009) menjadikan social entrepreneur reorientasi manajemen PT, social entrepreneur
sebagai muatan dalam kuriulum dikti, (3) menjadikan social entrepreneur sebagai
strategi pencapaian tujuan PT, (4) Memasukkan social entrepreneur kedalam
program-program pengabdian masyarakat.
Asep Suryana N. (2009). Pengembangan Pendidikan Tinggi
Berorientasi Kewirausahaan. Jurnal Manajemen Indonesia. 9, 1: 1-13.
Nurrahman. (2009). Social Enterpreneurship. [online]
Tersedia dalam http://nurrahmanarif.wordpress.com/2009/02/24/social-entrepreneurship/
Sasi Misra, E. Sendi Kumar. (2000). Resourcfulness: A
Proximal Conceptualisation of Enterpreneurial Behavior. Journal of Enterpreneurship,
9, 2: 135-154.
Tur Nastiti, Nurul Indarti, Rokhima Rostiani. (2010). Minat
Berwirausahan Mahasiswa Indonesia dan China. Jurnal Manajemen dan Bisnis. 9,
2:188-200.
Zulganef, Farida Nursjanti. (2009). Asosiasi Individualisme
dan Power Distance Dengan Kewirausahaan Pada Mahasiswa Bandung. Jurnal
Manajemen Indonesia. 9, 1: 108-122
Muahmmad Fajrin Mustafa
Pertanyaan yang sering muncul dalam difusi inovasi adalah
bagaimana mengusahakan agar suat ide baru bisa diterima oleh orang banyak
karena kebermanfaatannya. Banyak faktor yang akan mempengaruhi penyebaram ide
tersebut karena itu masalah umum yang menjadi persoalan penting dalam difusi
inovasi adalah bagaimana mempercepat laju penyebaran inovasi.
DIFFERENCES AND SIMILARITIES IN ISLAMIC AND
CONVENTIONAL BANKING
Analisis Jurnal
oleh
Muhammad Fajrin Mustafa
Bank syariah di
Indonesia terhitung masih sangat muda, perkembangannya di Indonesia diawali
pada tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada saat
sekarang ini banyak bank konvensional yang melakukan perkembangan dengan
membukan unit usaha syariah, hal ini terjadi karena bank syariah (BMI) berhasil
lolos dalam uji kelayakan oleh Bank Indonesia setelah krisis ekonomi yang terjadi
di Indonesia pada tahun 1998.
Pada awalnya
perkembangan bank di Indonesia masih bersifat konvensional dalam artian, belum memiliki
standar dari bank syariah sendiri, karena bank syariah berbasisi ideologi Islam
oleh karena itu Bnak Syariah adalah bank yang kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah
dengan landasan nilai-nilai keislaman. Sedangkan Bank Konvensional adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan ideologi kapitalis,
sosialis, dan nasionalis.
Respon terhadap
perkembangan Bank Syariah di Indonesia berbeda-beda yang sifatnya pro dan
kontra. Perbedaan ini dikarena ketidak pahaman sebagian masyarakat tentang
perbedaan dan persamaan antara Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional. Review paper
ini akan membahas tentang perbedaan dan persamaan antara Perbankan Syariah dan
Perbankan Konvensional sehingga dapat diperoleh informasi yang memantapkan
pemahaman yang ada.
Review ini dilakukan terhadap paper yang berjudul “Differences and Similarities in Islamic and
Conventional Banking.” yang ditulis oleh Muhammad Hanif yang dapat dihubungi
melalui e-mail muhammad.hanif@nu.edu.pk. Penulis adalah Assistant
Professor, National University of Computer & Emerging Sciences, Islamabad. Penulis
memperoleh gelar PhD-Finance Scholar at
International Islamic University, Islamabad, Pakistan. Penelitian ini
diterbitkan pada Februari 2011 oleh International Journal of Business and
Social Science dalam edisi kedua,
volume dua dihalaman 166-175.
Paper ini dikembangkan dengan paradigma interpretif
yang dilakukan dengan melihat fenomena pesatnya perkembangan perbankan syariah
yang terjadi di Pakistan. Paper ini berupaya
untuk mencari penjelasan tentang perbedaan dan persamaan antara perbankan
syariah dan perbankan konvensiaonal. Penjelasan untuk perbedaan dan persamaan
tersebut diteliti berdasarkan jenis riset
grounded theory dengan menggunakan
metode analisis kualitatif.Penelitian ini merupakan upaya untuk memahami mekanisme sistem
Keuangan Syariah dan mendokumentasikan persamaan
dan perbedaan antara system Keuangan Syariah dengan sistem keuangan konvensional. Penelitian
ini telah mendokumentasikan model yang digunakan oleh Islamic
Financial Institutions (IFI) dalam
kegiatan mereka, termasuk deposit collection,
servicing and provision of financing facilities, investment
dan lain-lain. Semua
ini akan diterapkan sebagai pembanding terhadap model keuangan dan deposit
collection dari
system keuangan
konvensional. Penelitian juga menemukan berbagai
kesulitan
dan kendala
yang dihadapi oleh sistem keuangan syariah yang bersifat operasional karena
lingkungan keuangan dan pembiayaan dengan system bunga.
Hasil
temuan dari penelitian terhadap perbedaan dan persamaan perbankan syariah dan
perbankan konvensional yang ditinjau dari deposits,
financing and investments, credit cards, short them loans, medium to long term
loans, leasing, agricultural loans, house financing, dan investmens. Berdasarkan semua aspek
tersebut peneliti menyimpulkan; Pertama,
IFI tidak dapat menyediakan pembiayaan untuk kegiatan
yang dilarang dalam
hukum Islam yang terlepas dari profitabilitas dan kelayakan ekonomi misalnya bisnis
minuman keras, babi dan pornografi dan ini tidak dilakukan dalam system
keuangan konvensional. Kedua, IFI tidak bisa memberikan pinjaman dengan sistem bunga
tetapi semua itu dapat dilakukan dengan bagi hasil,
untuk perbankan konvensional masih diberlakukan bunga atas pinjaman. Ketiga, Sistem
keuangan syariah dalam menyediakan pembagian keuntungan dengan bagi hasil
walaupun keuntungan dapat dibagi berdasarkan kesepakatan antara pihak yang terlibat namun kerugian harus dibagi sesuai
dengan kontribusi modal ataupun kepemilikan dan hal ini tidak sepenuhnya ada dalam
sistem perbankan konvensional.
Perbankan syariah ini tidak asing bagi dunia bisnis, tidak seperti yang dirasakan oleh kalangan tertentu. Jumlah kegiatan bisnis yang melibatkan
perbankan syariah direspon sama seperti perbankan konvesional, tetapi perbankan
syariah didasarkan pada hukum-hukum islam dalam bentuk Murabahah, Ijarah, Bai Muajjal, Bai Salam, Istasna, Musyarakah dan Mudharabah.
IFI tidak bisa memperpanjang fasilitas kredit tanpa dukungan dari sektor riil. Pembiayaan baik dilakukan melalui pembagian risiko dan imbalan atau harus didukung aset. Kedua hal
ini dapat dijumpai
di sistem keuangan Islam dalam bentuk Mudharabah yang bisa memainkan peran sebagai katalisator untuk mengubah masyarakat menjadi lebih makmur dengan memperluas fasilitas modal kepada orang-orang terampil yang
kurang modal. Model Mudharabah atas pendanaan kemitraan antara modal dan keterampilan yang terbentuk dapat digunakan untuk menyediakan lapangan kerja
untuk mengurangi pengangguran. Perbankan syariah sangatlah berbeda dari bank konvensional seperti yang dirasakan oleh umat Islam tertentu. Ia memiliki cara sendiri melakukan bisnis dan semua operasi dirumuskan oleh para ahli Syariah mulai dari dewan penasehat syariah dan akhirnya Islamic Fiqh Academy (IFA). Portofolio IFI didominasi oleh model penyesuaian pembiayaan syariah dan investasi yang dirumuskan dalam bentuk Musyarakah dan Mudharabah.
Model pembiayaan berbasis syariah yang memberikan gambaran perbedaan nyata kepada masyarakat berdasarkan konsep IFI. Hanif dan Iqbal, (2010) telah
mengidentifikasi hambatan misalnya manipulasi keuntungan, pembagian resiko kerugian, kurangnya kesadaran, luasnya perbankan konvensional, kurangnya sumber daya manusia yang
terampil, dan lain-lain menghalangi popularitas pembiayaan berbasis Syariah dan menyimpulkan bahwa perhitungan yang ada dan kerja sama dalam bingakai bisnis tidak kondusif untuk penerapan musyarakah dan mudharabah.
Perbank syariah melakukan bisnis di lingkungan yang tidak kondusif sehingga
semua ini menjadi tantangan tersendiri bagi perbankan syariah. IFI tidak bisa menuntut bunga atas saldo dari
bank konvensional karena cadangan kas wajib ditangani oleh Bank Sentral sehingga
perbankan syariah tidak dapat berinvestasi dalam obligasi pemerintah, obligasi berbasis bunga, tidak bisa mengklaim nilai waktu dari uang dari penunggakan, menanggung risiko dalam penjualan dan transaksi sewa guna usaha,
perbankan syariah hanya dapat berinvestasi pada efek Syariah yang
memenuhi persyaratan dan tidak tersedia di semua pasar saham dan akhirnya harus bersaing
dengan
bank konvensional dalam melayani deposito dan pembiayaan.
Terlepas dari kesulitan yang
dihadapai dalam perkembangan sistem keuangan syariah. Pertumbuhannya yang luar biasa menunjukkan masa depan yang cerah dan menjanjikan untuk sistem pembiayaan
syariah. Berbagai
masalah yang dihadapi menuntut perhatian para pembuat kebijakan termasuk Undang-Undang khusus tentang perbankan syariah untuk mengatur aktivitas
dibidang industri dan penerapan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh Auditing & Accounting Organization
of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) untuk persiapan laporan tahunan IFI.
Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perbedaan dan persamaan antara
perbankan syariah dan perbankan konvensional sehingga hasil penelelitian yang
ada hanya menggambarkan perbedaan operasional antara perbanakan syariah dan
perbankan konvensional dari sisi produk yang dikembangkankan oleh masing-masing
bentuk perbankan ke masyarakat.
Untuk
meningkatkan kebermanfaat dari penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
perbankan syariah dan perbankan konvensional diperlukan penelitian yang lebih
mendalam berkaitan dengan perbedaan dan persamaan akad ataupun perjanjian dari
perbankan syariah dan perbankan konvensional, perbedaan dan persamaan dalam
perhitungan produk-produk dari perbankan syariah dan perbankan konvensional,
serta penelitian tentang perbedaan dan persamaan teori pertukaran dan
percampuran dari perbankan syariah dan perbankan konvensional.
Berdasarkan
hasil temuan dalam penelitian ini dapat dirumuskan bahwa perbedaan antara
perbankan syariah dan perbankan konvensional didasarkan pada praktik bagi hasil
untuk perbankan syariah dan praktik riba untuk perbankan konvensional sedangkan
untuk persamaan dari keduanya terdapat pada jenis produk perbankan dengan
istilah dan tata cara yang sesuai prinsip-prinsip dalam perbankan tersebut.
Praktik perbakan
syariah di Indonesia sebaiknya diperkuat dengan penjelasan-penjelasan
operasional terhadap Undang-undang Perbankan Syariah yang dirumuskan dan
dievaluasi oleh pihak-pihak yang kompeten dalam hukum-hukum islam sehingga
perkembangan perbankan syariah yang juga dilakukan oleh bank konvensional dalam
bentuk unit usaha syariah dapat ditinjau berdasarkan Undang-undang Perbankan
Syariah yang diberlakukan.
Subscribe to:
Posts (Atom)