Pendidikan karakter.
Pendidikan Karakter. dan Pendidikan Karakter. Saat sebuah Negara berdiri
sebagai Negara yang bebas Nilai, maka pemerintah dengan sigap menggembar
gemborkan pentingnya sebuah nilai. Nilai yang dimaksud akhirnya jatuh pada
nilai angka dari sebuah keberhasilan. maka angka sepuluh ataupun seratus
menjadi tolak ukur keberhasilan. setiap anak harus mendapatkan juara dan
kebanggaan nilai terbaik dari semua mata pelajaran. lalu mereka lupa bahwa
sebuah kata yang disebut “nilai” yang jadi fokus pun telah menggelindingkan
karakter bangsa. Entah selentikan jari mana yang kemudian menyadarkan seorang
ayah yang lupa menanamkan sebuah karakter pada anaknya. dan karakter yang
seperti apa yang pernah terlupakan kemudian dengan cara apa hal tersebut dibangun
kembali saat ini?
Sejatinya pendidikan
karakter adalah sebuah watak generasi bangsa yang dibangun dan unggul dari segi
intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi fitrah
kemanusiaan. lalu watak yang seperti apakah itu? jika landasan pondasi watak
yang kuat adalah dimana tiang pengetahuan yang terpancang direkatkan dengan
paku spiritual. apakah kita sudah berhasil menanamkan nilai ini? saat
dimana-mana sebuah masalah diselesaikan dengan otot. saat dimana-mana lapisan
masyarakat menyampaikan aspirasi dengan kekerasan. dan saat dimana-mana
pemimpin bangsa tengah berusaha memaniskan wajah di depan rakyat demi
memalingkan perhatian rakyat saat segala milik mereka tercuri demi kekayaan dan
kesenangan pribadi.
emosi dengan mudah
tertawa terbahak-bahak di atas setiap kejadian dalam Negara, sementara Nafsu
bisa begitu gembira dengan kemenangannya saat beberapa orang menjadi korban. apakah
gembar gembor dan rancangan pendidikan karakter yang tidak kian usai telah
berpengaruh? disaat sebagian orang berkumpul didepan meja untuk merancang
aturan main pendidikan karakter, beberapa gedung telah hancur. beberapa orang
telah berdarah, dan beberapa hati telah kehilangan diluar sana. saling hasut,
merasa paling benar dan egoisme menjadi dalang terkemuka dari setiap adegan.
Sesungguhnya tantangan terberat sebuah Negara dijaman ini adalah bagaimana
sebuah generasi sanggup mengendalikan diri terhadap nafsu emosi dalam keadaan
apapun. bagaiman kita mampu membuat sang emosi menangis karena ditinggalkan generasi.
dan bagaimana mereka mampu melihat nafsu mati seketika saat sebuah generasi
bersikap bijak menghadapi kekerasan diantara sekelumit kehidupan. Peran orang
tua dan lingkungan sangatlah penting dalam membangun pondasi ini. Sebab tidak
akan berhasil sebuah Negara saat seorang anak ditelantarkan sang ibu dari
pendidikan. maka solusi penting yang menjadi awal dari ini adalah upaya
mengolah hati dan emosi dalam jiwa generasi bangsa.
namun, Bagaimana
seorang anak bisa bicara kejujuran saat sang ayah tengah berusaha menipu fakta
demi segepok uang? Bagaimana seorang murid belajar kejujuran saat sang guru
tengah menipu waktu demi mencari “lebih”? dan bagaimana seorang rakyat belajar
arti kejujuran saat sang pemimpin tengah menipu langkah untuk menghalalkan yang
tidak halal? saat seorang ayah belum mampu mengolah hati dan emosi didepan sang
anak, saat seorang guru belum sanggup mengolah hati dan emosi didepan sang
murid, dan saat seorang pemimpin belum bisa mengolah hati dan emosi didepan
rakyat, maka nafsu dan emosi lah yang akan memegang puncak tertinggi dari
sebuah keputusan. Bagaimana mungkin pendidikan karakter dapat berjalan baik,
jika sekelompok orang yang duduk mengelilingi meja rancangan permainan ternyata
duduk disana karena sebuah alasan “lebihan”? lalu belajar darimanakah generasi
muda cara mengolah hati dan emosi, jika ternyata yang harus mereka contoh saja
belum melakukan nya.
sesungguhnya emosi
adalah permainan manusia. ya, permainan manusia. bukan sebaliknya, dimana
manusia adalah permainan emosi. yang berhak berhak dan pantas terjadi adalah , “manusia
memainkan emosi”. dengan ringan tentunya. Arlie Hochsehild, seorang sosiolog di
University of California mengatakan “suatu kerja emosi itu menyiksa atau tidak,
adalah tergantung bagaimana sesorang mengidentifikasi pekerjaannya. yang ia
maksudkan adalah bagaimana seseorang bisa menilai aktifitas pekerjaanya menjadi
sebuah kerja hati yang bermoral. dengan
demikian kerja emosi akan gagal. sebab bila kita berada dibawah emosionalitas,
maka kemampuan berpikirpun merosot tajam. sebaliknya, saat berpikir dengan baik
dan tajam, maka kita tengah berada diluar lingkaran emosionalitas. proses
pembentukan karakter anak tidak semata ditentukan oleh aspek kecerdasan
intelektual saja, tetapi sangat penting didukung oleh kecerdasan emosional dan
spiritual siswa. pengendalian diri, kesabaran dalam menghadapi emosi teman/
lawan, dan keberanian mengatakan “tidak” pada saat yang genting merupakan
proses pendidikan karakter.
bukan dengan menghabis
kan uang dengan berulang tahun di mall, cara terbaik menanamkan pendidikan
karakter kepada anak. namun hati dan emosional generasi lebih terdidik dengan
baik saat harus berbagi dan melihat kekurangan yang dimiliki anak-anak dip anti
asuhan. namun dengan dalih demi kebahagiaan tadilah sang ayah telah melupakan
bagaimana cara mengasah hati dan emosional sang anak. lalu kenapa mengolah hati
itu penting? kenapa hati menjadi dasar dari watak generasi bangsa?
sebuah kalimat bijak
mengatakan “dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. apabila daging itu
baik, maka baiklah seluruh tubuh. tetapi apabila daging itu rusak, maka
rusaklah seluruh tubuh. dan segumpal daging itu adalah hati”. maka jelaslah
makna pentingnya mengolah hati. sebab hati menjadi sumber dari segala sumber
sikap tubuh manusia. sumber dari penentu seluruh tubuh manusia. maka ketika sebuah
hati mampu dikelola, maka seluruh tubuhpun telah terkelola. Dengan pembaikan
hati yang terlatih, maka akan baik pula apa yg tubuh lakukan.
Generasi muda yang
mahir mengelola hati dan emosi adalah generasi muda yang dibutuhkan oleh bangsa
saat ini dan seterusnya. membabat habis individualisme, emosi dan nafsu dari
diri sendiri hingga lapisan atas dari masyarakat akan dapat mereka lakukan. hingga
akhirnya melihat sang emosi dan nafsu menangis merana karena telah ditinggalkan
oleh generasi bangsa yang telah menjadi generasi dengan kecerdasan emosional
spiritual dan intelektual pada tingkat pancasila.
proses ini bukanlah
proses instan. namun proses yang memakan waktu yang sangat panjang. dimana
proses ini harus sesuai prosedur, yang dimulai sejak dini hingga perguruan
tinggi. saat anak hidup dalam lingkungan yang begitu baik mengolah hati, maka
ia akan besar seperti yang telah ia terima saat tumbuh. jika kecerdasan
emosional dan spiritual telah dilatih dan ditatar secara kontinu dan sejak
dini, sudah tentu kualitas sumber daya manusia berkarakter dapat terwujud
secara optimal.
0 comments:
Post a Comment