Friday 8 June 2012

Oleh Wanty E. J. Fajrin M. Si., M. Pd

Pendidikan karakter. Pendidikan Karakter. dan Pendidikan Karakter. Saat sebuah Negara berdiri sebagai Negara yang bebas Nilai, maka pemerintah dengan sigap menggembar gemborkan pentingnya sebuah nilai. Nilai yang dimaksud akhirnya jatuh pada nilai angka dari sebuah keberhasilan. maka angka sepuluh ataupun seratus menjadi tolak ukur keberhasilan. setiap anak harus mendapatkan juara dan kebanggaan nilai terbaik dari semua mata pelajaran. lalu mereka lupa bahwa sebuah kata yang disebut “nilai” yang jadi fokus pun telah menggelindingkan karakter bangsa. Entah selentikan jari mana yang kemudian menyadarkan seorang ayah yang lupa menanamkan sebuah karakter pada anaknya. dan karakter yang seperti apa yang pernah terlupakan kemudian dengan cara apa hal tersebut dibangun kembali saat ini?

Sejatinya pendidikan karakter adalah sebuah watak generasi bangsa yang dibangun dan unggul dari segi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi fitrah kemanusiaan. lalu watak yang seperti apakah itu? jika landasan pondasi watak yang kuat adalah dimana tiang pengetahuan yang terpancang direkatkan dengan paku spiritual. apakah kita sudah berhasil menanamkan nilai ini? saat dimana-mana sebuah masalah diselesaikan dengan otot. saat dimana-mana lapisan masyarakat menyampaikan aspirasi dengan kekerasan. dan saat dimana-mana pemimpin bangsa tengah berusaha memaniskan wajah di depan rakyat demi memalingkan perhatian rakyat saat segala milik mereka tercuri demi kekayaan dan kesenangan pribadi.

emosi dengan mudah tertawa terbahak-bahak di atas setiap kejadian dalam Negara, sementara Nafsu bisa begitu gembira dengan kemenangannya saat beberapa orang menjadi korban. apakah gembar gembor dan rancangan pendidikan karakter yang tidak kian usai telah berpengaruh? disaat sebagian orang berkumpul didepan meja untuk merancang aturan main pendidikan karakter, beberapa gedung telah hancur. beberapa orang telah berdarah, dan beberapa hati telah kehilangan diluar sana. saling hasut, merasa paling benar dan egoisme menjadi dalang terkemuka dari setiap adegan. Sesungguhnya tantangan terberat sebuah Negara dijaman ini adalah bagaimana sebuah generasi sanggup mengendalikan diri terhadap nafsu emosi dalam keadaan apapun. bagaiman kita mampu membuat sang emosi menangis karena ditinggalkan generasi. dan bagaimana mereka mampu melihat nafsu mati seketika saat sebuah generasi bersikap bijak menghadapi kekerasan diantara sekelumit kehidupan. Peran orang tua dan lingkungan sangatlah penting dalam membangun pondasi ini. Sebab tidak akan berhasil sebuah Negara saat seorang anak ditelantarkan sang ibu dari pendidikan. maka solusi penting yang menjadi awal dari ini adalah upaya mengolah hati dan emosi dalam jiwa generasi bangsa.

namun, Bagaimana seorang anak bisa bicara kejujuran saat sang ayah tengah berusaha menipu fakta demi segepok uang? Bagaimana seorang murid belajar kejujuran saat sang guru tengah menipu waktu demi mencari “lebih”? dan bagaimana seorang rakyat belajar arti kejujuran saat sang pemimpin tengah menipu langkah untuk menghalalkan yang tidak halal? saat seorang ayah belum mampu mengolah hati dan emosi didepan sang anak, saat seorang guru belum sanggup mengolah hati dan emosi didepan sang murid, dan saat seorang pemimpin belum bisa mengolah hati dan emosi didepan rakyat, maka nafsu dan emosi lah yang akan memegang puncak tertinggi dari sebuah keputusan. Bagaimana mungkin pendidikan karakter dapat berjalan baik, jika sekelompok orang yang duduk mengelilingi meja rancangan permainan ternyata duduk disana karena sebuah alasan “lebihan”? lalu belajar darimanakah generasi muda cara mengolah hati dan emosi, jika ternyata yang harus mereka contoh saja belum melakukan nya.

sesungguhnya emosi adalah permainan manusia. ya, permainan manusia. bukan sebaliknya, dimana manusia adalah permainan emosi. yang berhak berhak dan pantas terjadi adalah , “manusia memainkan emosi”. dengan ringan tentunya. Arlie Hochsehild, seorang sosiolog di University of California mengatakan “suatu kerja emosi itu menyiksa atau tidak, adalah tergantung bagaimana sesorang mengidentifikasi pekerjaannya. yang ia maksudkan adalah bagaimana seseorang bisa menilai aktifitas pekerjaanya menjadi sebuah kerja hati yang bermoral.  dengan demikian kerja emosi akan gagal. sebab bila kita berada dibawah emosionalitas, maka kemampuan berpikirpun merosot tajam. sebaliknya, saat berpikir dengan baik dan tajam, maka kita tengah berada diluar lingkaran emosionalitas. proses pembentukan karakter anak tidak semata ditentukan oleh aspek kecerdasan intelektual saja, tetapi sangat penting didukung oleh kecerdasan emosional dan spiritual siswa. pengendalian diri, kesabaran dalam menghadapi emosi teman/ lawan, dan keberanian mengatakan “tidak” pada saat yang genting merupakan proses pendidikan karakter.

bukan dengan menghabis kan uang dengan berulang tahun di mall, cara terbaik menanamkan pendidikan karakter kepada anak. namun hati dan emosional generasi lebih terdidik dengan baik saat harus berbagi dan melihat kekurangan yang dimiliki anak-anak dip anti asuhan. namun dengan dalih demi kebahagiaan tadilah sang ayah telah melupakan bagaimana cara mengasah hati dan emosional sang anak. lalu kenapa mengolah hati itu penting? kenapa hati menjadi dasar dari watak generasi bangsa?

sebuah kalimat bijak mengatakan “dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh. tetapi apabila daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. dan segumpal daging itu adalah hati”. maka jelaslah makna pentingnya mengolah hati. sebab hati menjadi sumber dari segala sumber sikap tubuh manusia. sumber dari penentu seluruh tubuh manusia. maka ketika sebuah hati mampu dikelola, maka seluruh tubuhpun telah terkelola. Dengan pembaikan hati yang terlatih, maka akan baik pula apa yg tubuh lakukan.

Generasi muda yang mahir mengelola hati dan emosi adalah generasi muda yang dibutuhkan oleh bangsa saat ini dan seterusnya. membabat habis individualisme, emosi dan nafsu dari diri sendiri hingga lapisan atas dari masyarakat akan dapat mereka lakukan. hingga akhirnya melihat sang emosi dan nafsu menangis merana karena telah ditinggalkan oleh generasi bangsa yang telah menjadi generasi dengan kecerdasan emosional spiritual dan intelektual pada tingkat pancasila.

proses ini bukanlah proses instan. namun proses yang memakan waktu yang sangat panjang. dimana proses ini harus sesuai prosedur, yang dimulai sejak dini hingga perguruan tinggi. saat anak hidup dalam lingkungan yang begitu baik mengolah hati, maka ia akan besar seperti yang telah ia terima saat tumbuh. jika kecerdasan emosional dan spiritual telah dilatih dan ditatar secara kontinu dan sejak dini, sudah tentu kualitas sumber daya manusia berkarakter dapat terwujud secara optimal.



0 comments: