Monday 30 April 2012


Tribun Jabar, 2/5/12, Oleh Muhammad Fajrin Mustafa. Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati hari Pendidikan Nasional yang dikaitakan antara sumberdaya manusia (SDM) dan pendidikan. Pemaparan tulisan ini dimulai dari permasalahan yang dihadapai oleh bangsa Indoensia dalam membangunan perekonomian bangsa adalah masalah rendahnya kualitas SDM dan produktifitas SDM. Apalagi setelah dimulainya era globalisasi yang memaksa Indonesia harus mempersiapkan SDM nya agar tingkat pengangguran dan kemiskinan tidak semakin tinggi.
Globalisasi yang pada intinya merupakan rekayasa ekonomi itu telah menjadikan kehidupan manusia menjadi begitu terbuka. Sebagai konsekwensinya, hal ini menyebabkan semakin tajamnya persaingan antar negara dan organisasi dalam merebut pasar serta usaha menghasilkan kinerja dan kualitas produk yang prima. Untuk ini semua, maka pada gilirannya organisasi bisnis yang terlibat dalam persaingan itu akan menuntut kualitas SDM yang tinggi dan bersaing.
Melihat kondisi yang ada di era globalisasi, maka perlu dilakukan suatu usaha yang dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas SDM sehingga setiap sumber daya dapat meperoleh pekerjaan yang layak dengan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga terjamin kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
Kualitas SDM Indonesia saat ini, kalau dilihat secara kasus per kasus mungkin kita dapat mengatakan bahwa kualitas SDM Indonesia kini cukup bersaing di kancah internasional di beberapa bidang tertentu. Artinya SDM kita tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain, dan hasil karyanyapun dapat diandalkan.
Akan tetapi, secara keseluruhan harus diakui bahwa kualitas dan kemampuan SDM Indonesia relatif masih rendah. Rendahnya kualitas dan kemampuan SDM Indonesia itu tercermin dari rendahnya produktivitas kerja, baik tingkatannya maupun pertumbuhannya. Untuk keperluan usaha-usaha peningkatan kualitas SDM, perlu dipikirkan lebih spesifik tentang apa dan bagaimana usaha untuk meningkatkan kualitas SDM.
Erat kaitannya dengan kualitas SDM, adalah menyangkut masalah relevansi pendidikan seperti yang dinyatakan Sudrajat dalam bukunya kiat mengerahkan pengangguran melalui wirausaha bahwa peningkatan kualitas SDM ini dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan. Pendidikan yang dari waktu ke waktu selalu menghadapai tantangan dan terus menerus dilakukan usaha-usaha perbaikan. Satu diantara masalah pendidikan yang berhubungan dengan relevansi adalah adanya ketidak sesuaian antara kebutuhan masyarakat dan keluaran pendidikan, yang oleh Wardiman Djojonegoro (dalam Isfenti Sadalia, tersedia di http://digilib.usu.ac.id) "… adanya kecenderungan bahwa isi program pendidikan dinilai cenderung berorientasi pada penguasaan prestasi akademik untuk memasuki pada jenjang yang lebih tinggi dan belum menata arah untuk secara lentur bergerak cepat sejalan dengan tuntutan dunia kerja yang secara terus menerus berubah serta kehidupan di masyarakat".
Peningkatan kualitas SDM yang dilakukan dengan pendidikan dapat melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Undang-undang Sistem Pendidika Nasional No.20/2005, menjelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, sedangkan  UNESCO mendefinisikan pendidikan sebagai proses belajar mengajar yang teroganisir dan terus menerus yang dirancang untuk mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, skill, dan pemahaman yang bernilai untuk seluruh aktivtias hidup.” (Jaervis dalam Mustofa Kamil, 20010:4)
Berdasarkan tujuan pendidikan Indonesia, idealnya output pendidikan harus memiliki pikiran yang berkarakter, hati yang berkarakter, lisan yang berarakter, dan tindakan yang berkarakter. Tetapi issu yang berkembanga sekarang ini adalah terjadinya kesenjangan antara tujuan dan pendidikan dan output pendidikan yang ditandai dengan bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa.
Berbagai masalah yang dikaitakan dengan pendidikan membuat pemerintah gusar dan akhirnya merumuskan kebijakan bekaitan dengan Pembangunan Karakter Bangsa yang diprogram 2010-2025. Kebijakan ini diharapkan bisa membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau  warga negara  Indonesia  agar berpikiran baik, berhati baik, dan  berperilaku baik  sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.  Selain itu pendidikan karakter diharapkan bisa memperbaiki dan memperkuat  peran  keluarga, satuan pendidikan, masyarakat,  dan pemerintah  untuk ikut  berpartisipasi dan  bertanggung jawab dalam pengembangan potensi  warga negara  dan  pembangunan  bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera sehingga mampu memilah  budaya bangsa sendiri dan menyaring  budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan karakter adalah olah pikir, olah hati, dan olah raga. Olah pikir merupakan formula yang dirancang untuk membina pesertadidik agar memiliki kecerdas, sikap kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi ipteks, dan reflektif.  Olah hati diformulasikan untuk menumbuhakan keimanan dan ketakwaan, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik pada diri peserta didik. Pada aspek olah rasa diarakahkan untuk saling menghargai, toleran, peduli,  suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum,  bangga menggunakan bahasa dan produk indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Terakhir adalah olah raga dengan formulasi ini diharapkan peseta didik mampu untuk menjaga kebersihan, sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih. (Kemendiknas)
Jika ditinjau dari sejarah pendidikan di Indonesia, ternyata pendidikan karakter telah ada dan dipraktikkan dalam proses pendidikan terdahulu yang terbukti mampu melahirkan putra/i bangsa yang mampu berkompetensi ditatanan internasional. Dimulai dari Ki Hajar Dewantoro (2 Mei 1889-26 April 1959) yang merupakan tokoh pendidikan Indonesia. Hari lahir beliau yang pernah sekolah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Jakarta selama lima tahun ini diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Konsep pendidikan yang digagas beliau adalah mengakui hak peserta didik ataw kemerdekaanya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya yang tertuang dalam konsep Tut Wuri Handayani yang berarti mengikuti peserta didik sambil membimbingnya dan itu dipraktikkan oleh beliau yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat kedalam sekolah yang belai dirikan yaitu Taman Siswa. Belia pernah menyatakan bahwa “…pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.  Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.”
Selain Ki Hajar Dewantoro, tokoh pemikir pendidikan lainnya adalah K. H. Hasyim Asy’ari yang lahir 14 February 1871 dan wafat pada 25 Juli 1947. Konsep pendidikan karakter yang diusung oleh beliau yang merupakan pendiri pesantren Tebuireng tertuang dalam sepuluh etika belajar. Beliau menganjurkan kegiatan belajar yang baik harus diawali hati yang bersih dari penyakit hati dan penyakit keimanan, memiliki niat yang lurus dan bukan karena mengharaokan material, memanfaatkan waktu dengan baik dan pandai membagi waktu dengan baik, bersabar dan selalu fokus, tidak terlalu banyak makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, tidak memperbanya tidur, serta menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat. Selain itu K. H. Hasyim Asy’ari mengungkapkan bahwa pendidik yang baik adalah pendidik yang cakap dan professional, memiliki kasih saying, berwibawa, menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat, senantiasa berkarya, pandai mengajar, dan berwawasan luas.
Sejalan dengan konsep pendidikan karakter, K. H. Ahmad Dahlan (1686-1923) yang merupakan pendiri Muhammadiyah juga memiliki konsep pendidikan karakter yang diterapkannya di dalam Muhammadiyah yang bertujuan untuk menanamkan keberanian dalam meluruskan kekaburan memahami agama dengan konsep meluruskan pikiran, hati, lisan, dan perbuatan yang belum benar dalam ibadah dengan memberikan pengajaran dan memurnikan keyakinan dari kurafat dan takhayul dengan tauhid, semuanya dijalankan dengan semboyan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta menegakkan masyarakat islam yang sebenarnya. Pesan yang popular dari beliau adalah “Janganlah engkau mencari hidup dan penghidupan dalam Muhammadiyah, tetapi hendaklah Muhammadiyah selalu engkau pimpin dan hidup-hidupkan.”
Ejaan dari “oe” diganti “u” yang kita gunakan sekarang merupakan gagasan dari Mr. R. Siwandi (1899-1964) yang merupajan tokoh pendidikan. Beliau pernah menjadi Sekretaris Departement van Onderwijs en Eeredients. Konsep pendidikan karakter beliau yang  pernah menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada 1946-1947 tertuang dalam sepuluh pasal pendidikan dan pengajaran. Pertama, perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, perasaan cinta kepada alam. Ketiga, perasaan cinta kepada negara. Keempat, perasaan cinta dan hormat kepada orang tua. Kelima, perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan. Keenam, perasaan berhak dan wajib ikut melahirkan negaranya menurut pembawaanya dan kekuatannya. Ketujuh, keyakinan bahwa orang menjadi sebagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat. Kedelapan, keyakinan bahwa orang yang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib. Kesembilan, keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama harganya, sebab itu berhubungan sesame anggota masyarakt harus bersifat hormat-menghormati, berdasarkan atas rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri. Kesepuluh, keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin bekerja, tahu akan kewajibannya, jujur dalam pikiran dan tindakannya.
Mohammad Syafei (1896-1969) merupakan tokoh pendidikan dari Sumatera barat yang pernah skolah sebagai calon guru dan kemudian memperdalam pengetahuannya mengenai pendidikan dan berbagai aliran pendidikan di Belanda. Beliau adalah pendidir sekolah Kayu Tanam yang merupakan sekolah kerja, konsep pendidikat karakter beliau terlihat dari tujuan didirikannya Kayu Tanam yaitu untuk membentuk peserta didik yang mampu berdiri sendiri didalam masyarakat dengan tidak mengantungkan diri sebagai pegawai negeri yang bekerja dibawah perintah atasan.
Dari uraian konsep pendidikan karakter dari para tokoh pendidikan Indonesia ternyata pendidikan karakter telah diprioritaskan sejak dahulu kala sebelum kebijakan program Pendidikan karakter Kemendiknas periode 2010-2025. Konsep pendidikan karakter tokoh pendidikan terdahulu mengisyaraktkan bahwa, untuk membentuk peserta didik yang berkarakter diperlukan pendidik yang juga berkarakter. Karakter didalam pendidikan telah hilang karena struktur pendidikan yang dimulai dari atas sampai bawah hanya mementingkan material dan kuantitas. Semoga momen hari Pendidikan Nasional ini bisa dijadika perenungan untuk kembali memulai pendidikan karakter dengan mendahulukan perbaikan karakter diri seperti yang telah dicontohkan para tokoh pendidikan.

Referensi:
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. (2010). Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Mutofa Kamil (2011) Model Pendidikan dan Pelatihan. Alfabeta. Bandung

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2005

Isfenti Sadalia (____).Tantangan dan Peluang Sumber Daya Manusia di Era Globalisasi. http://digilib.usu.ac.id/download/fe/manajemen-isfanti.html [online] diakses pada 16 April 2012