Tuesday 29 May 2012


Oleh Muhammad Fajrin Mustafa
Bandung, 29 Mei 2012

Ketika zaman penjajahan banyak rakyat Indonesia yang hidup menderita, tertindas, dan terlilit hutang dengan para rentenir. Karena hal tersebut pada tahun 1896, Patih Purwokerto yang bernama R. Aria Wiriaatmadja mendirikan koperasi kredit untuk membantu para rakyat yang terlilit hutang.
Lalu pada tahun 1908, perkumpulan Budi Utomo memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui koperasi dan pendidikan dengan mendirikan koperasi rumah tangga, yang dipelopori oleh Dr.Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo.
Setelah Budi Utomo sekitar tahun 1911, Serikat Dagang Islam (SDI) dipimpin oleh H.Samanhudi dan H.O.S Cokroaminoto mempropagandakan cita-cita toko koperasi (sejenis waserda KUD), hal tersebut bertujuan untuk mengimbangi dan menentang politik pemerintah kolonial belanda yang banyak memberikan fasilitas dan menguntungkan para pedagang asing. namun pelaksanaan baik koperasi yang dibentuk oleh Budi Utomo maupun SDI tidak dapat berkembang dan mengalami kegagalan, hal ini karena lemahnya pengetahuan perkoperasian, pengalaman berusaha, kejujuran dan kurangnya penelitian tentang bentuk koperasi yang cocok diterapkan di Indonesia.
Upaya pemerintah kolonial belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia ternyata tidak sebatas pada bidang politik saja, tapi kesemua bidang termasuk perkoperasian. Hal ini terbukti dengan adanya undang-undang koperasi pada tahun 1915, yang disebut “Verordening op de Cooperative Vereenigingen” yakni undang-undang tentang perkumpulan koperasi yang berlaku untuk segala bangsa, jadi bukan khusus untuk Indonesia saja. Undang-undang koperasi tersebut sama dengan undang-undang koperasi di Nederland pada tahun 1876 (kemudian diubah pada tahun 1925), dengan perubahan ini maka peraturan koperasi di indonesia juga diubah menjadi peraturan koperasi tahun 1933 LN no.108. Di samping itu pada tahun 1927 di Indonesia juga mengeluarkan undang-undang no.23 tentang peraturan-peraturan koperasi, namun pemerintah belanda tidak mencabut undang-undang tersebut, sehingga terjadi dualisme dalam bidang pembinaan perkoperasian di Indonesia.
Meskipun kondisi undang-undang di indonesia demikian, pergerakan dan upaya bangsa indonesia untuk melepaskan diri dari kesulitan ekonomi tidak pernah berhenti, pada tahun 1929, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir.Soekarno mengobarkan semangat berkoperasi kepada kalangan pemuda. Pada periode ini sudah terdaftar 43 koperasi di Indonesia.
Pada tahun 1930, dibentuk bagian urusan koperasi pada kementrian Dalam Negeri di mana tokoh yang terkenal masa itu adalah R.M.Margono Djojohadikusumo lalu pada tahun 1939, dibentuk Jawatan Koperasi dan Perdagangan dalam negeri oleh pemerintah dan pada tahun 1940, di Indonesia sudah ada sekitar 656 koperasi, sebanyak 574 koperasi merupakan koperasi kredit yang bergerak di pedesaan maupun di perkotaan.
Setelah itu pada tahun 1942, pada masa kedudukan jepang keadaan perkoperasian di Indonesia mengalami kerugian yang besar bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, hal ini disebabkan pemerintah jepang mencabut undang-undang no.23 dan menggantikannya dengan kumini (koperasi model jepang) yang hanya merupakan alat mereka untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan jepang. (Arif Ruhiya, 2011)
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi.  Konsep Internasionalisasi memandang globalisasi sebagai bentuk hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. Konsep Liberalisasi memandang globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi. Konsep Universalisasi globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia. Konsep Westernisasi yang merupakan satu diantara bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal. Konsep hubungan transplanetari dan suprateritorialitas. Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
 Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi yang mengarahkan negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Globalisasi di bidang ekonomi telah mendorong munculnya liberalisasi yang dalam konteks kekinian dibahasakan dengan sistem ekonomi neoliberal. Inti ajaran dari ekonomi liberal adalah bentuk pemanfaatan dan aplikasi sistem ekonomi pasar dengan berpegang teguh pada konsep the invisible hand dari Adam Smith yang mengatur keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Satu diantara bentu agenda neoliberalisme adalah melibatkan suatu negara dalam kegiatan IMF (Dana Moneter Internasional) dan ini terjadi secara jelas pada Indonesia ketika terjadi krisis ekonomi. Pada krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998, pemerintah Indonesia secara resmi mengundang IMF sebagai penyelemat perekonomian Indonesia. Dengan ditandatanganinya kesepakatan antara pemerintah Indonesia untuk melaksanakan agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dikemas dalam paket program-program penyesuaian. (Baswir, 2010:167-168)
Jalinan kerjasama dari agenda-agenda ekonomi Neoliberal yang semangkin mengakar membuat terkikisnya keberadaan sistem ekonomi kerakyatan yang berkembang dan merupakan amanat dari UUD 1945. Eksistensi sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya dimusuhi oleh pihak asing tetapi perlawan juga berasal dari para ekonom Indonesia sendiri. Perlawanan dari para ekonom terdiri dari dua argument yang berbeda, ada yang menganggap bahwa ekonomi kerakyatan tidak sejalan dengan teori-teori ekonomi yang mereka pelajari, merekapun merasakan ekonomi kerakyatan sebagai ancaman terhadap berbagai kepentingan pribadi mereka. Ada juga para ekonom yang menganggap bahwa peluang penerapannya sangat kecil dan sistem tersebut hanya konsep idealis yang tidak realistis. (Baswir, 2010:49-51)
Ketika mendengar ungkapan Globalisasi politik yang terpikir adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh di dunia global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antar kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, seperti yang kita saksikan dalam pertempuran-pertempuran di Afghanistan dan Iraq. Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.
Terdapat hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran.
Sejauh ini Indonesia lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme.
Dampak negatif dari globalisasi politik yang terjadi juga mempengaruhi eksistensi koperasi di Indonesia. Pada era pemerintahan Presiden Soekarno koperasi terdiri dari koperasi kredit dan koperasi produksi tetapi pada era pemerintahan Presiden Suharto perkembangan koperasi cenderung berubah, selain adanya koperasi unit desa (KUD), pada era orde baru ini juga berkembang koperasi-koperasi golongan fungsional yang teraplikasi dalam lingkungan pegawai negeri sipil, militer,, lingkungan karyawan BUMN, lingkunangan karyawan BUMS, lingkungan wanita, mahasiswa, sekolah, pesantren, dab berbagai golongan funsional lainnya. (Baswir, 2010:65)
Bung Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia menyatakan bahwa koperasi pada dasarnya adalah sistem nilai yang tidak hanya menampilkan bentuk formalnya. Koperasi sesungguhnya ingin melembagakan nilai-nilai dalam tatanan perekonomian. Sebagai sebuah sistem nilai, koperasi dapat diketahui berdasarkan prinsip-prinsip koperasi yang tercantum dalam pasal 5 UU Koperasi No. 25/1992 yang meliputi, kenaggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara sebanding dengan jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, serta kemadirian.
Satu diantara prinsip koperasi adalah keterbukaan keanggotaan dengan maksud bahwa dalam keanggotaan koperasi tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun, hal ini berarit setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan oleh koperasi, terlepas dari status agama, suku, ras, jenis pekerjaan berhak menjadi anggota koperasi.
Prinsip koperasi yang pertama ini merupakan identitas bagi setiap badan usaha yang ingin menyebut dirinya koperasi, tetapi dalam UU Koperasi No. 12/1967 yang disusun sebagai pengganti UU Koperasi No. 14/1965, prinsip keterbukaan keanggotaan cenderung dimanipulasi. Hal itu dilakukan dengan mengubah criteria keanggotaan koperasi, yaitu dari yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan koperasi (pasal 18 UU No. 14/1958) menjadi berdasarkan kesamaan kepentingan dalam usaha koperasi (pasal  11 UU No. 12/1967). Dalam penjelasan pasal 17 UU No. 12/1967 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan memiliki kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena kesamaan kepentingan ekonominya. (Baswir, 2010:71-70)
Pada koperasi golongan fungsional yang dikembangkan pada era orde baru merupakan bentuk implikasi dari perubahan sifat keanggotaan koperasi, yaitu terbuka menjadi tertutup. Koperasi golongan fungsional hanya terbuka bagi mereka yang memiliki profesi sejenis. Menurut  pasal 17 UU No. 12/1967, alasan perubahan coral dan pembatasan anggota dilatarbelakangi dengan tujuan efisiensi. Namun jika ditelusuri berkaitan dengan karakteristik dan sejarah perkembangan koperasi, serta orientasi ekonomi politik era orde baru, alasan tersebut jauh dari memuaskan dan sulit untuk diterima begitu saja karena terindikas koperai ditunggangi untuk sebuah kepentingan politik pemerintah.
Pembahasan tentang pendidikan menjadi menarik akhir-akhir ini setelah beberapa isu tentang globalisasi pendidikan menjadi hangat diperbicangkan. Mungkin karena istilah “globalisasi” tidak pernah surut ditelan zaman. tanda-tanda globalisasi di dunia pendidikan dapat ditelusuri dengan polemik pro dan kontra UU No. 20 tahun 2003 pasal 53 ayat 1 yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional yang menyatakan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (Patta Hindi, 2011)
Kekhawatiran terjadinya komersialisasi pendidikan memberi ruang bagi pasar untuk melakukan penetrasi ke dunia pendidikan baik tingkat pendidikan dasar maupun tingkat pendidikan tinggi. Munculnya sekolah baik level swasta dan negeri dengan label “bertaraf internasional”, “status disamakan”, “terakreditasi” menjadi indikasi telah terjadi pemetaan di dunia pendidikan.
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang terasa terhadap eksistensi koperasi terjadi pada silabus pendidikan ekonomi pada SMA dan sederajat. Materi koperasi untuk SMA dipadukan dengan materi kewirausahaan dalam sebuah standar kompetensi yang hanya terdiri dari dua kompetensi dasar yaitu mendeskripsikan cara pengembangan koperasi dan koperasi sekolah serta menghitung pembagian SHU. (Neti dan Leni, 2010:25)
Berdasarkan jumlah jam yang diberikan untuk materi ajar koperasi, maka materi koperasi yang diajarkan ditingkat SMA sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan peran koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Hal ini akan menyebabkan pemahaman peserta didik terhadap koperasi sangat terbatas sehingga dikhawatirkan nilai-nilai dan karaktersitik koperasi tidak dimiliki pesertadidik sebagai generasi penerus karena komptensi yang dijadikan indikator ketercapaian hanya sebatasmendekripsikan cara pengembangan koperasi dan cara menghitung SHU.
Selain permasalahan diatas, globalisasi pendidikan juga berpengaruh terhadap bentuk kerjasama pendidikan dengan konsep pertukaran pelajar. Beasiswa yang diberikan boleh jadi menjadi alat untuk mendoktrik paham-paham barat kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia sehingga pada saatnya nanti lahirlah ekonom-ekonom yang berkiblat pada liberalism, internasionlime, dan isme-isme lainya yang mengkikis habis eksistensi nasionalisme.

Neti Budiwati dan Leni Permana. (2010). Perencanaan Pembelajaran Ekonomi. Bandung. FPEB UPI
Patta Hindi. (2011). Globalisasi Pendidikan. Tersedia online dalam http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/09/globalisasi-pendidikan/ diakses Mei 2012
Raden Java. (2010). Globalisasi Perekonomian Indonesia. Tersedia dalam http://radenjava.wordpress.com/2010/03/22/globalisasi-perekonomian-indonesia/ diakses Mei 2012

Revrisond Baswir. (2010). Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberlisme. Yogyakart. Delokomotif