Oleh : Muhammad Fajrin Mustafa
Kota Bandung terkenal sebagai Kota Pendidikan, kota pusat
intelektual, dan khazanah keilmuan yang konon sudah tumbuh pesat semenjak pemerintahan
Hindia Belanda. Dari sinilah tumbuh pesat tempat-tempat pendidikan mulai dari
tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Tinggi.
Logika umum yang sederhana menyatakan sekolah adalah tempat
dimana dilangsungkannya kegiatan belajar dan mengajar siswa oleh para guru.
Penelaahan yang sedikit filosofis, sekolah merupakan wahana yang membentuk daya
kreasi dan imajinasai siswa sehingga mereka mampu menggali dan memunculkan
potensinya untuk mengukir prestasi yang lebih baik tidak hanya dalam konteks penalaran
bahan ajar yang diberikan.
Peranan pendidikan dalam meningkatkan kulalitas SDM
menjadikan Kota Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia tentunya
bukanlah hal baru lagi bagi masyarakat di negara ini. Banyaknya kekayaan alam
yang tersimpan di kota kembang, dan tingginya kreativitas sumber daya manusia
yang berada di kota tersebut, menjadikan Kota Bandung sebagai barometer
pertumbuhan industri kreatif di tingkat nasional. Paper ini berjudul “Bandung
dan Social Entrepreneurship” yang bertujuan menganlisis tentang peran Bandung
sebagai kota pendidikan dan kreatif dalam membentuk social entrepreneur
mahasiswa dari luar Kota Bandung. Analisis ini berdasarkan analisis deskriptif.
Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan
dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan,
dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari
Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan
menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social
change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan
kesehatan (healthcare) (Santosa dalam Nurrahman, 2009).
Konsep secara umum dari Social Entrepreneurship, sebenarnya
bukan merupakan sebuah lembaga atau organisasi bentukan atau turunan dari
perusahaan dan lembaga pemerintahan yang bersifat komersial. Akan tetapi murni
merupakan sebuah usaha entrepreneurship yang bergerak di bidang sosial. Pada
awalnya, Social Entrepreneurship mempunyai inti pemberdayaan dalam bidang kemasyarakatan
yang bersifat voluntary atau charity (kedermawanan dan sukarela). Dalam hal ini
membentuk sebuah lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan, anak asuh atau
donasi untuk beasiswa di bidang pendidikan.
Konsep awal mula Social Entrepreneurship tidak menekankan
pada usaha untuk menghasilkan profit. Jika ada profit, bukan menjadi tujuan
utama dan nilainya bisa dibilang kecil. Karena inti utama dalah pemberdayaan
untuk kemaslahatan bersama.
Model yang dikembangkan oleh Misra dan Kumar (2000)
berkaitan dengan faktor-faktor yang memunculkan entrepreneurial behavior
diawali pada faktor demografis dan faktor psikologi. Mengenai faktor demografi,
Misra dan Kumar (2000) menyimpulkan tiga hal dari beberapa penelitian yang ada.
Dinataranya sebagai berikut:
(a) the assumption
that certain demographic characteristics lead to similar experiences in life
has been disproved; (b) many researchers use demographic characteristic as
surrogates for personality characteristics, which is again an extension of the
assumption just stated; and (c) this line of research has been woefully
inadequate in predicting who will or will not be an entrepreneur, Dimensi yang dikembangkan untuk faktor psikologi dari
penelitian Misra dan Kumar (2000) terdiri dari sikap yang terdiri dari achievement
motive, locus of control, risk taking and values, lalu situation dan intention.
Hasil dari penelitian Misra dan Kumar (2000) menyatakan bahwa faktor demografis
dan psikologi mempengaruhi sikap berwirausaha. Zulganef, Farida Nursjanti
(2009) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara budaya individualism
dengan karakteristik kewirausahaan.
Dalam penelitian lain, yaitu penelitian Tur Nastiti dkk
(2010) dikembangkan beberapa faktor yang mempengaruhi minat wirausaha
diantaranya adalah faktor kepribadian
yang terdiri dari kebutuhsn akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi
pribadi.
Tur Nastiti dkk (2010) menjelaskan bahwa kebutuhan akan
pencapaian sebagai salah satu keinginan yang memotivasi orang dalam berprilaku
disamping keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk bersosialisasi dengan
lingkungan. Sedangkan untuk lokus kendali Tur Nastiti dkk (2010) menjelaskan
bahwa ia didefinisikan sebagai keyakinan yang muncul sebagai akibat dari adanya
kemampuan, kemauan, dan keahlian. Mengutip dari Bandura (Tur Nastiti dkk, 2010)
yang dijelaskan oleh Tur Nastiti dkk berkaitan dengan efikasi pribadi yang
merupakan wujud sikap kepercayaan akan diri sendiri untuk menyelesaikan sebuah
pekerjaan.
Bandura (Tur Nastiti dkk, 2010) menjelaskan empat cara untuk
meningkatkan efikasi pribadi yaitu dengan keberhasilan yang berulang,
pembelajaran secara langsung, dukungan sosial, dan evaluasi status psikologi
untuk mengurangi tekanan. Secara umum penelitian Tur Nastiti dkk (2010)
menyatakan bahwa kebutuhan akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi pribadi
dapat mempengaruhi minat wirausaha.
Tumbuh kembangnya minat wirausaha juga tak lepas dari
pendidikan dalam penelitian Tur Nastiti dkk (2010) menjelaskan bahwa latar
belakang pendidikan berpengaruh negatif terhadap minat berwirausaha di
Indonesia karena orientasi pendidikan
kurikulum ekonomi dan bisnis tidak diarahkan untuk berwirausaha. Sebagai respon
terhadap hal ini Asep Surayan (2009) dalam hasil penelitiannya merekomendasikan
agar Perguruan TInggi (PT) (1) menjadikan kewirausahaan sebagai dasar reorientasi manajemen PT, (2)
Memasukkan semangat kewirausahaan untuk mewarnai muatan lokal dalam kuriulum
dikti sebagai perwujudan PT dalam merespon perkembangan eksternal, (3) Menjadikan
semangat kewirausahaan sebagai strategi pencapaian tujuan PT, (4) Memasukkan
semangat kewirausahaan kedalam program-program pengabdian masyarakat.
Sebagai mahasiswa yang berasal dari Kalimantan Barat (anak
rantau). tentunya bukan hal yang mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan ketika
berada ditanah rantau (Kota Bandung). Keberhasilan sektor pendidikan dalam
mendidik SDM agar berkualitas dibuktikan dengan dijadikannya Bandung sebagai
icon dari pertumbuhan ekonomi kreatif. Hal ini tidak terlepas dari kreatifitas
yang dimiliki SDM yang ada dibandung sehingga Bandung menjadi satu diantara
tujuan wisata yang diminati wisatawan asing dan lokal.
Pertumbuhan ini akan membangun kompetisi yang tinggi dengan
tujuan untuk bisa lebih baik. Kompetisi yang muncul berada pada bidang
commercial entrepreneur dan social enterpreneur. Ketatnya kompetisi ini karena
faktor demografis dan psikologi sehingga memunculkan entrepreneur behaviors.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Misra dan Kumar (2000) serta hasil
penelitian Zulganef dan Farida Nursjanti. (2009).
Faktor demografis dan psikologi kota Bandung dirasa membawa
efek positif untuk anak rantau, walaupun waktu tinggal di Bandung belumlah
lama. Hal pertama yang dirasa adalah munculnya sikap mau berkorban dan segera
bertindak. Tuntutan sebagai mahasiswa bukanlah konsekwensi yang bisa
disepelekan karena hal ini berhubungan dengan masa depan. Berkorban uang,
waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan menyita keinginan anak rantau untuk tetap
berada dizona nyaman. Ketika teman yang lain bisa dengan leluasa untuk hidup
dengan royal, memanfaatkan waktu dengan bersantai, dan memperoleh sesuatu tanpa
harus bekerja dengan maksimal dan totalitas. Anak rantau harus membuang
jauh-jauh pikiran untuk tetap berada dizona nyaman.
Hal kedua dan ketiga akan terkait dengan hasil penelitian
Tur Nastiti dkk (2010). Kedua, kesediaan untuk segera action. Kota Bandung
merupakan kota pendidikan dan kota kreatif. Satu diantara bentuk kreatifitas
yang ada adalah terbentuknya komunitas dibidang jasa pendidikan dan pelatihan
dengan orientasi non-profit. Hal ini telah menginspirasi anak rantau sehingga
mampu membentuk RUHANI Learning Center (RLC) dikampung halaman. RLC merupakan lembaga yang bergerak
dalam pendidikan dan pelatihan dibidang peningkatan kulitas SDM khususnya
diklat untuk anak pantiasuhan dan masyarakat ekonomi lemah yang berada di
Pontianak Kalimantan Barat. Selain itu RLC juga memfokuskan kegiatan untuk
memberi beasiswa pendidikan dalam program talangaek yaitu penggalangan dana
untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
Ketiga, mampu mempengaruhi orang lain. Tentunya RLC akan
lebih baik jika banyak tenaga yang berkecimpung didalamnya. Si anak rantau
berhasil mengajak orang-orang terdekat untuk bersedia ikut serta dalam
melaksanakan visi dan misi yang ada. Orang-orang tersebut adalah istri,
saudara, dan teman. Bahkan berkat proses komunikasi dan usaha keras, RLC
berhasil membuat program talangaek menjadi sebuah program kegiatan yang akan
dilaksanakan disebuah perguruan tinggi swasta di Pontianak. Kegiatan ini
dikelola langsung oleh badan eksekutif mahasiswa di perguruan tinggi tersebut.
Berkaitan dengan pembahasan yang ada, maka social
entrepreneur memiliki kesamaan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya
adalah model yang dikembangkan oleh Misra dan Kumar (2000) yang menyatakan
bahwa faktor demografis dan psikologi mempengaruhi sikap berwirausaha. Serta
penelitian Zulganef, Farida Nursjanti (2009) tentang hubungan individualism
dengan karakteristik kewirausahaan. Faktor-faktor ini dapat juga diadopsi untuk
meneliti social entrepreneur dan realisasi ini telah digambarkan pada bagian
pembahasan.
Sejalan dengan model yang dikembangkan Misra dan Kumar
(2000), Tur Nastiti dkk (2010) mengembangkan model yang lebih spesifik pada
kebutuhan akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi pribadi. Tur Nastiti dkk (2010)menyatakan bahwa
kebutuhan akan pencapaian, lokus kendali, dan efikasi pribadi dapat
mempengaruhi minat wirausaha. Faktor-faktor ini dapat juga diadopsi untuk
meneliti social entrepreneur dan realisasi ini telah digambarkan pada bagian
pembahasan.
Pengembangkan kewirausahaan sebaiknya berorinetasi
commercial entrepreneur dan social entrepreneur dengan mengadaptasi hasil
penelitian Asep Surayan (2009) menjadikan social entrepreneur reorientasi manajemen PT, social entrepreneur
sebagai muatan dalam kuriulum dikti, (3) menjadikan social entrepreneur sebagai
strategi pencapaian tujuan PT, (4) Memasukkan social entrepreneur kedalam
program-program pengabdian masyarakat.
Asep Suryana N. (2009). Pengembangan Pendidikan Tinggi
Berorientasi Kewirausahaan. Jurnal Manajemen Indonesia. 9, 1: 1-13.
Nurrahman. (2009). Social Enterpreneurship. [online]
Tersedia dalam http://nurrahmanarif.wordpress.com/2009/02/24/social-entrepreneurship/
Sasi Misra, E. Sendi Kumar. (2000). Resourcfulness: A
Proximal Conceptualisation of Enterpreneurial Behavior. Journal of Enterpreneurship,
9, 2: 135-154.
Tur Nastiti, Nurul Indarti, Rokhima Rostiani. (2010). Minat
Berwirausahan Mahasiswa Indonesia dan China. Jurnal Manajemen dan Bisnis. 9,
2:188-200.
Zulganef, Farida Nursjanti. (2009). Asosiasi Individualisme
dan Power Distance Dengan Kewirausahaan Pada Mahasiswa Bandung. Jurnal
Manajemen Indonesia. 9, 1: 108-122
1 comments:
Agen Judi Online
Agen Judi
Agen Judi Terpercaya
Agen Bola
Bandar Judi
Bandar Bola
Agen SBOBET
Agen Casino
Agen Poker
Agen IBCBET
Agen Asia77
Agen Bola Tangkas
Prediksi Skor
Prediksi Skor UTRECHT VS FC TWENTE 1 November 2015
Prediksi Skor BOLOGNA VS ATALANTA 1 November 2015
Post a Comment